Drs. Makmur, M.Ag
Kepala Kemenag Kota Bandar Lampung
HATIPENA.COM – Dalam kehidupan sehari-hari, kita sering berhadapan dengan ucapan yang menyakitkan. Ada orang yang lisannya tajam, mudah melemparkan hinaan, caci maki, bahkan fitnah. Saat itu hati biasanya bergolak: ingin membalas, ingin menegakkan harga diri. Namun benarkah harga diri diukur dari seberapa keras kita membalas? Ataukah justru dari seberapa besar kita mampu menahan diri?
Dalam Sunan Abu Dawud, diriwayatkan bahwa suatu hari Abu Bakar duduk bersama Rasulullah saw. Tiba-tiba datang seorang Arab Badui yang kemudian mencaci Abu Bakar dengan kata-kata kasar. Namun Abu Bakar tetap diam, seakan tidak mendengar. Untuk kedua kalinya, ia kembali dihina, lebih keras dari sebelumnya. Abu Bakar masih bersabar dan menahan lidahnya. Namun ketika untuk ketiga kalinya cacian itu semakin tajam, Abu Bakar pun terpancing emosi dan membalas dengan kata-kata serupa.
Melihat hal itu, Rasulullah saw yang sejak tadi duduk di sampingnya tiba-tiba berdiri dan meninggalkan majelis. Abu Bakar heran, lalu segera mengejar beliau dan bertanya, “Wahai Rasulullah, mengapa engkau meninggalkanku? Bukankah aku hanya membalas karena telah dizalimi?” Rasulullah saw menjawab, “Wahai Abu Bakar, ketika engkau bersabar atas cacian pertama, para malaikat turun mengelilingimu. Ketika engkau bersabar atas cacian kedua, jumlah malaikat semakin banyak. Namun ketika engkau membalas hinaan itu, para malaikat pun pergi meninggalkanmu, dan setanlah yang mendekat. Ketahuilah, aku tidak ingin duduk bersama setan.”
Jawaban Rasulullah saw ini mengandung rahasia besar: diam itu mulia. Seseorang yang mampu menahan diri dari membalas hinaan sebenarnya sedang dimuliakan oleh Allah. Malaikat turun mengelilinginya sebagai tanda kehormatan. Semakin besar sabarnya, semakin tinggi pula derajatnya. Sebaliknya, orang yang lisannya tidak terkendali, yang gemar mencaci dan menghina, sesungguhnya sedang merendahkan dirinya sendiri, baik di hadapan manusia maupun di hadapan Allah.
Mengapa orang yang dicaci itu justru mulia? Karena kebaikan orang yang menghina akan berpindah menjadi miliknya, sementara dosa-dosanya akan ditanggung oleh si penghina. Inilah yang disebut rugi dua kali: pahala berkurang, dosa bertambah. Ibarat pedagang, bukan hanya tidak untung, modal pun lenyap.
Nabi Muhammad saw telah lama mengingatkan, bahwa kehinaan bagi orang yang gemar mencaci tidak hanya dirasakan di dunia, tetapi juga di akhirat. Di dunia, hidupnya dipenuhi kegelisahan, hatinya sempit, hari-harinya hanya sibuk mencari kesalahan orang lain. Sedangkan di akhirat, ia menjadi orang yang bangkrut (muflis).
Rasulullah saw bersabda: “Tahukah kalian siapa orang yang bangkrut itu?” Para sahabat menjawab, “Orang yang bangkrut di antara kami adalah orang yang tidak punya dirham dan tidak punya harta.” Beliau bersabda, “Sesungguhnya orang yang bangkrut dari umatku adalah orang yang datang pada hari kiamat dengan membawa pahala salat, puasa, dan zakat. Namun ia datang juga dengan membawa dosa: pernah mencaci orang ini, menuduh orang itu, memakan harta si ini, menumpahkan darah si itu, dan memukul orang lain. Maka kebaikan-kebaikannya diberikan kepada orang-orang itu. Jika kebaikan-kebaikannya habis sebelum selesai, maka dosa-dosa orang yang pernah ia zalimi dipindahkan kepadanya, lalu ia dilemparkan ke neraka.” (HR. Muslim).
Maka, diam bukan tanda kelemahan, melainkan tanda kekuatan iman. Allah berfirman, “Tiada suatu kata yang diucapkannya melainkan ada di sisinya malaikat pengawas yang selalu hadir.” (QS. Qaf: 18). Rasulullah saw pun mengingatkan, “Barangsiapa beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah ia berkata yang baik atau diam.” (HR. Bukhari dan Muslim). Diam dalam menghadapi keburukan adalah perisai diri, sekaligus tangga menuju kemuliaan.
Pepatah lama berkata, “Mulutmu harimaumu.” Ini artinya, kata-kata baik dapat mengangkat martabat, sementara kata-kata buruk bisa menjerumuskan diri. Sebagaimana harimau, ia bisa saja menjagamu, tapi jika salah bisa menerkammu. Lisan adalah pintu kemuliaan sekaligus jurang kehinaan. Abu Bakar ash-Shiddiq radhiyallahu ‘anhu telah memberi teladan berharga, bahwa sabar dan diam jauh lebih mulia dibanding membalas hinaan.
Kisah ini memberi pesan sederhana namun mendalam, jangan tergoda untuk membalas setiap keburukan yang diarahkan kepada kita. Biarkan malaikat yang mencatat, biarkan Allah yang membalas. Sesungguhnya diam itu bukan kekalahan, melainkan kemenangan. Diam itu bukan kelemahan, melainkan kemuliaan. Dan benar sabda Rasulullah saw, “Aku tidak ingin duduk bersama setan.” Maka, pilihlah untuk duduk bersama malaikat dengan menjaga lisan dan menahan diri. (*)
Wallahu’alam