Rm. Yudel Neno, Pr – Imam Projo Keuskupan Atambua
HATIPENA.COM – Dalam perjalanan hidup dan pelayanannya, Mgr. Petrus Turang, Pr, Uskup Emeritus Keuskupan Agung Kupang, adalah sosok yang penuh dedikasi, ketegasan, dan kebijaksanaan. Ia berjalan dengan langkah yang pasti, menyusuri jalan pelayanan tanpa ragu, memegang erat setiap prinsip yang diyakininya.
Kini, langkah itu telah berhenti, tetapi jejaknya tetap tertinggal dalam kenangan yang pernah disentuh oleh ketulusan dan ketegasannya.
Jeli pada Hal-Hal Kecil, Jeli dalam Mengasihi
Suatu ketika, kepada para frater, Mgr. Petrus mengajukan pertanyaan sederhana, tetapi penuh makna: “Apa yang harus dilakukan seorang imam setelah menerimakan Sakramen Permandian?” Jawaban yang muncul dari para frater mengalir dalam idealisme yang indah, tetapi kepada para frater, Mgr. Petrus dengan tegasnya yang khas, berkata, “Yang paling penting adalah mencatatnya di Buku Permandian.”
Di balik jawaban sederhana itu, ada pesan mendalam. Bahwasannya, setiap jiwa yang dipercayakan kepada Gereja harus dirawat dengan cinta, bukan sekadar dalam doa, tetapi juga dalam tindakan nyata. Apa yang diingat oleh Mgr. Petrus mengajarkan kepada kita bahwa detail kecil bukanlah sekadar catatan administrasi, melainkan perwujudan cinta seorang gembala terhadap kawanan dombanya.
Kemuliaan Allah dalam Keheningan yang Indah
Pernah suatu kali, Mgr. Petrus menegur anggota koor pasca Ekaristi. Teguran itu dilancarkan karena menurut Mgr. Petrus, anggota koor menyanyikan lagu dengan nada berteriak. Menurut Mgr. Petrus, “Kemuliaan Allah tidak ditemukan dalam kekuatan berteriak.” Kata-katanya bagaikan angin sejuk yang meredakan hiruk-pikuk.
Ia ingin mengajarkan bahwa pujian kepada Tuhan bukan tentang seberapa keras suara kita, tetapi tentang harmoni, tentang keseimbangan yang memancarkan keindahan. Dalam nada yang selaras, dalam doa yang tulus, di sanalah kemuliaan Allah dinyatakan.
Tatapan yang Bertemu dengan Tuhan
Liturgi bagi Mgr. Petrus adalah pengalaman yang hidup. “Yang paling penting dalam liturgi menurutnya ialah mata dan telinga. Hal ini dikatakannya dalam sambutan singkat pasca sebuah perayaan Ekaristi. Bagi Mgr. Petrus, mata untuk menatap, bukan hanya sekadar melihat, tetapi sungguh menatap—Tatapan yang berpuncak pada momen elevasi suci, saat Tubuh dan Darah Kristus diangkat, di mana iman dan harapan berpadu dalam kebersamaan ilahi.
Dan telinga untuk mendengar, bukan hanya sekadar mendengar kata-kata, tetapi menangkap Sabda Tuhan yang berbisik dalam kedalaman hati. Liturgi, baginya, adalah perjumpaan, sebuah dialog suci yang menyentuh relung jiwa.
Tata Busana: Sebuah Penghormatan kepada Yang Kudus
Mgr. Petrus adalah seorang gembala yang tegas dalam prinsip, termasuk dalam hal berpakaian. “Celana jeans itu pakaian preman, bukan untuk imam dalam Ekaristi,” katanya dengan nada penuh kepastian.
Baginya, setiap detail, termasuk pakaian, adalah cerminan penghormatan terhadap yang ilahi. Sepatu kulit hitam yang diwajibkannya bukan sekadar aturan kaku, tetapi sebuah simbol bahwa liturgi adalah perjumpaan dengan Tuhan, yang layak dihormati dengan persiapan terbaik.
Mandiri dalam Panggilan, Berani dalam Kebenaran
Dalam suatu kesempatan perayaan Ekaristi pembukaan tahun ajaran Civitas Akademika Fakultas Filsafat Unwira Kupang, Mgr. Petrus menegaskan, “Kerohanian adalah kunci bagi kemandirian seorang imam dalam karya pastoral.”
Ia mengingatkan bahwa seorang imam harus mampu berdiri teguh, tidak mengambil hak umat, dan tidak tergoda oleh dunia ekonomi, bisnis, atau politik. Dalam kata-kata itu, ada pesan mendalam tentang keberanian seorang gembala untuk tetap setia pada tugasnya, tanpa kompromi terhadap hal-hal yang dapat mengaburkan misinya.
Kateketik yang Jujur dan Menghargai Waktu
Homili-homilinya selalu lugas, tanpa basa-basi. Ia berbicara dengan ketepatan yang mengena, dengan waktu yang singkat, tetapi dengan makna yang dalam. Ia tidak pernah membuang waktu dalam kata-kata yang tidak perlu.
Setiap momen, setiap kesempatan, baginya adalah waktu yang berharga untuk membangun dan membimbing umat. Ketika ia berbicara, ia menginginkan agar setiap kata menyentuh hati, agar pewartaan menjadi nyata dan tidak sekadar retorika kosong.
Adil dalam Sikap, Tegas dalam Prinsip
Di Seminari Tinggi Santo Mikael Penfui Kupang, banyak yang mengenalnya sebagai sosok yang adil, yang tidak memandang siapa yang berbicara, tetapi apa yang dikatakan. Ia tidak memilih kasih, tidak berpihak pada yang kuat, tetapi berdiri di sisi kebenaran. Sikapnya ini menjadikannya seorang pemimpin yang dihormati dan sekaligus ditakuti—bukan karena kerasnya, tetapi karena ketulusannya dalam menegakkan keadilan.
Mengabdi Hingga Nafas Terakhir
Kini, sang gembala telah pergi. Namun, setiap langkahnya yang tegas, setiap tatapan matanya yang penuh makna, setiap tegurannya yang membangun, tetap hidup dalam hati mereka yang pernah mengenalnya. Selamat jalan, Bapak Uskup Petrus Turang.
Ketegasanmu mengajarkan kami arti keadilan. Kecepatanmu dalam bertindak mengajarkan kami pentingnya menghargai waktu. Sikapmu yang terkadang keras membuat kami memahami arti penting dari konsultasi, koordinasi, dan konfirmasi. Keputusanmu yang sering diambil dalam waktu singkat mengajarkan kami tentang keberanian seorang pemimpin.
Kejujuranmu dalam setiap situasi mengingatkan kami akan pentingnya integritas. Gaya pengajaranmu yang ringkas namun padat makna mengajarkan kami betapa berharga setiap kata yang diucapkan.
Terima kasih atas teladanmu, Bapak Uskup. Engkau telah mengabdi hingga tuntas. Kami yang tinggal di sini akan selalu mengenangmu dalam doa, dalam nyanyian yang lembut, dalam tatapan yang mencari Tuhan, dan dalam langkah-langkah kecil yang kami ambil untuk mengikuti jejakmu.
Damailah dalam pelukan Tuhan, Sang Gembala Sejati. (*)