Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600 ------ Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600 ------ Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600 ------ Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600 ------ Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600

Hegel di Alaf 21

February 16, 2025 10:30
IMG-20250216-WA0052

ilustrasi : Meta AI/ ReO

oleh ReO Fisksiwan *)

“Iman dan pengetahuan bukanlah dua kemampuan yang terpisah, tetapi dua momen dari proses yang sama; keduanya bukanlah dua jenis kognisi yang berbeda, tetapi dua tahap dalam pengembangan kognisi yang sama.” — Georg Wilhelm Friedrich Hegel, “Glauben und Wissen(1802) diterjemahkan oleh Walter Cerf dan H. S. Harris, edisi Inggris, “Faith and Knowledge“(1977).

HATIPENA.COM – Kutipan di atas merupakan argumen utama Hegel ihwal iman(Glauben) dan pengetahuan(Wissen) saling bertaut dan saling bergantung. Bukan bentuk kognisi yang terpisah atau berlawanan. Tanggapan ini cerminan penekanannya pada proses dialektis perkembangan dan kesatuan hal-hal yang berlawanan, yang merupakan gagasan fundamental di antara sistem filosofisnya.

Hegel, ketika wafat di Berlin menjelang usia 61 pada November 1831, konon berpesan: Wer von Gott verdamm ist, ein Philoshop zu sein(Siapa hendak dikutuk Tuhan, jadilah filsuf).

Pada hari wafatnya, di dunia lain, antara Eropa Belanda, Minahasa dan Jawa, zendling Johann Friedrich Riedel, Johann Gottlieb Schwarz diutus Nederland Zendling Genootschaf(NZG) di Rotterdam ke Minahasa dan Kiyai Modjo dan Pangeran Diponegoro dibuang ke Minahasa dan Manado.

Kembali ke filsafat iman dan pengetahuan dapat diuraikan ringkasannya. Dengan panduan
buku “Iman dan Pengetahuan,” Georg Wilhelm Friedrich Hegel menyajikan proyek filosofis yang kompleks dan ambisius yang berupaya untuk mendamaikan iman dan pengetahuan dan menjadi dua konsep yang tampaknya berbeda. Meskipun karya Hegel ini tidak dapat disangkal berpengaruh dan menggugah pikiran. Nyaris karyanya bukan tanpa kritik(akan diulas di akhir ulasan ini).

Salah satu perhatian utama relasi “Iman dan Pengetahuan” adalah sifatnya yang terlalu luas dan abstrak. Uraian Hegel sering kali padat dan tidak jelas. Hal ini berbuntut sulit bagi pembaca untuk memahami argumen utamanya. Lebih jauh, kecenderungannya untuk mencampuradukkan konsep dan ide yang berbeda dan menyulut musabab kebingungan dan salah tafsir.

Kritik lain pada gagasan relasi “Iman dan Pengetahuan” berakibat ketergantungannya pada sistem filosofis Hegel sendiri dan bisa dipandang sebagai terlalu kaku dan dogmatis. Pendekatan dialektis Hegel, meskipun inovatif dan berpengaruh, juga dapat dipahami sebagai terlalu mekanistik dan deterministik.

Dengan kata lain, dapat menyebabkan kurangnya nuansa dan kehalusan dalam analisisnya. Bahkan bisa menghasilkan kegagalan untuk memperhitungkan kompleksitas dan keragaman pengalaman manusia.

Selain itu, beberapa kritikus berpendapat bahwa “Iman dan Pengetahuan” terlalu berfokus pada hubungan individu dengan yang absolut dan mengabaikan maupun mengorbankan perhatian yang lebih praktis dan konkret.

Penekanan Hegel pada pentingnya iman dan pengetahuan dapat dilihat sebagai terlalu abstrak dan terpisah dari realitas kehidupan sehari-hari.
Meskipun ada kritik ini, “Iman dan Pengetahuan” tetap menjadi karya yang penting dan berpengaruh dalam sejarah filsafat.

Upaya Hegel untuk mendamaikan iman dan pengetahuan, meskipun cacat(fallacy) merupakan kontribusi yang signifikan terhadap perdebatan yang sedang berlangsung tentang hakikat realitas, pengetahuan dan pengalaman manusia itu sendiri.

Pada akhirnya, pembacaan kritis terhadap “Iman dan Pengetahuan” harus mengakui keterbatasan karya tersebut dan relevansi penting keberkelanjutan gagasannya ini. Dengan terlibat dengan ide-ide dan kritik Hegel, pembaca dapat memperoleh pemahaman yang lebih dalam tentang hubungan yang kompleks dan bernuansa antara iman dan pengetahuan.

Selanjutnya, beberapa kritik atas gagasan relasi iman dan pengetahuan atau agama vs sains, bisa didaraskan dalam ringkasan beberapa kritikus dan kritik mereka sebagai berikut:

Dalam “Iman dan Pengetahuan,” Hegel mencoba mendamaikan iman dan akal budi. Akan tetapi, pada akhirnya ia lebih mempromosikan dan memprioritaskan akal budi(das Wissen).

Prioritas ini bermasalah, karena melemahkan legitimasi iman dan pengalaman keagamaan seperti kelak dirinci secara cermat oleh William James(1842-1910) dalam The Varieties of Religious Experience(1902).

Pendekatan dialektis Hegel, meskipun inovatif, dapat dianggap terlalu kaku dan deterministik, penekanannya pada roh absolut sebagai realitas tertinggi mengabaikan kompleksitas dan keragaman pengalaman manusia.

Lebih jauh, penekanan Hegel pada hubungan individu dengan yang absolut dapat dianggap terlalu abstrak dan terpisah dari realitas kehidupan sehari-hari. Filsafatnya mengabaikan konteks sosial, politik, dan ekonomi yang membentuk keberadaan manusia hingga saat ini.

Pertama, kritik Nietzsche pada relasi itu — upaya Hegel untuk mendamaikan iman dan akal budi — merupakan rekonsiliasi yang mustahil. Karena iman dan akal budi pada dasarnya tidak cocok. Selain itu, penekanan Hegel pada roh absolut — dengan menyatakan bahwa konsep ini hanyalah abstraksi belaka dan tanpa konten(makna) nyata apa pun — ikut menjadi sasaran kritik Nietzsche.

Kedua, Heidegger mengkritik “Iman dan Pengetahuan” karya Hegel sangat mengabaikan pertanyaan mendasar tentang Wujud(das Sein). Heidegger berpendapat bahwa filsafat Hegel terlalu berfokus pada roh absolut dan menafikan pertanyaan yang lebih mendasar tentang makna Wujud yang secara panjang lebar diulasnya dalam “Sein und Zeit“(1927).

Heidegger juga mengkritik pendekatan dialektis Hegel, dengan menyatakan bahwa pendekatan itu terlalu kaku dan deterministik dan terlalu mengabaikan kompleksitas dan ambiguitas eksistensi manusia.

Terakhir, pentolan dari mahzab kritik, Theodor Adorno mengatakan karya Hegel sebagai ikhtiar filsafatnya mendamaikan iman dan rasio merupakan usaha tidak relevan dengan perkembangan filsafat, sains dan agama dewasa ini.

Lagi-lagi, ungkap Adorno bahwa filsafat Hegel ini jauh dari konteks sosial, politik, ekonomi dan budaya mutakhir dalam membentuk eksistensi manusia. Kritik Adorno bersama Horkheimer bisa diusap dalam Dialektik der Aufklärung(1944).

Kritik-kritik ringkas di atas sekadar menyoroti beberapa kritik utama terhadap “Iman dan Pengetahuan” Hegel, termasuk prioritasnya pada akal budi atas iman dan pengabaiannya terhadap kompleksitas sertw keragaman pengalaman manusia. Walhasil, pendekatan dan penerapan filsafat Hegelian dianggap terlalu abstrak dan terpisah terhadap filsafat itu sendiri.

Demi pemutakhiran filsafat relasi iman dan sains, dianjurkan merujuk pada bacaan dan kritik atas ide Hegel. Misalnya, Breaking the Spell(2006), Daniel Dennet(1942-2024); When Science Meets Religion(2000), Ian G. Barbour(1923-2013); Why religion matters(2000) dan Forgotten Truth(1976), Huston Smith(1919-2016); Enlightenment Now(2016) dan Rationality(2021), Steven Pinker(70); The Joy of Science(2022), Jim Al-Khalili(62), fisikawan Inggris kelahiran Irak.

*) Diulas dari bukunya dan lukisannya dengan bantuan AI.

Berita Terkait

Berita Terbaru