Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600 ------ Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600 ------ Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600 ------ Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600 ------ Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600

Kritik Kemunduran Sains Islam (Otokritik yang Perlu dan Urgen)

March 14, 2025 05:40
IMG-20250314-WA0029

Oleh : Ayi Mustofa

Hikmah Ramadhan 14 @semua orang
HATIPENA.COM
– Islam pernah menjadi pusat peradaban dunia. Itu adalah fakta sejarah yang tidak bisa dibantah oleh siapa pun. Semuanya pasti mengakui akan hal tersebut. Tidak ada satu ahli sejarah pun yang membantah bahwa Islam pernah menjadi pemimpin dunia. Ya, itu terjadi di suatu masa di zaman dahulu.

Di zaman sekarang banyak sekali umat muslim yang terus menginginkan agar umat Islam bisa meraih lagi golden era tersebut. Banyak sekali umat yang memimpikan agar kejayaan Islam di masa lalu bisa segera terwujud kembali di zaman sekarang.

Tapi secara personal saya merasa pesimis bahwa Islam bisa menguasai kembali peradaban dunia. Saya pesimis karena secara konkret saya tidak melihat upaya umat Islam untuk bisa mewujudkan keinginannya tersebut.

Saya melihat usaha untuk meraih kejayaan Islam tersebut bertolak belakang dengan visi misi yang akan diwujudkannya. Bahkan saya tidak bisa melihat sama sekali strategi pencapaian yg bisa mewujudkan kembali masa keemasannya.

Saya melihat saat ini umat Islam sangat euforia sekali terhadap ritual ibadah dan problematikanya. Mereka banyak sekali mengulang-ulang dan membahasakan kembali pelajaran fiqih yang sudah di ajarkan selama ribuan tahun lalu.

Mereka luar biasa fokusnya untuk membahas tentang tata cara ibadah solat, puasa, haji, menghilangkan najis, zakat , menentukan awal dan akhir puasa, membahas masalah bidah, tahlil, ziarah kubur, bunga bank, habib, membahas masalah munafik, kafir, infaq, shodaqoh, dan seringkali meributkan masalah halal dan haram.

Mereka juga disibukan waktunya agar bisa membaca Alquran dengan baik, dihabiskan waktunya untuk bisa menghafal ayat-ayat, surah-surah, dan sejumlah juz yang ada di kitab suci Alquran.

Mereka memberikan keistimewaan-keistimewaan bagi umat yang bisa menghafal banyak ayat-ayat suci Alquran. Energi dan waktunya sebagian besar dihabiskan ke hal-hal yang semacam itu.

Lalu apakah salah jika umat Islam mempelajari semua hal tersebut? Jawabannya tentu tidak. Tapi sangat disayangkan, saya melihatnya hampir seluruh waktu umat Islam habis dicurahkan untuk membahas hal-hal tersebut.

Belum lagi kita banyak menyaksikan banyak sekali waktu yang terbuang oleh umat Islam untuk mempertentangkan perbedaan-perbedaan tafsir atas suatu ayat.

Perbedaan ini bisa sekali sangat intens, sering kali ketika ada tafsir yang berbeda dengan mainstream langsung si pemberi tafsir tersebut diberikan label-label negatif dan buruk terhadap dirinya. Mereka satu sama lainnya saling mengklaim kebenaran atas tafsirnya.

Merupakan satu paradoks jika umat Islam berkeinginan untuk bisa kembali meraih zaman keemasan tapi kondisi faktualnya masih berkutat dengan meributkan hal-hal tersebut.

Pertanyaannya adalah, apakah zaman keemasan Islam di zaman dahulu dipenuhi oleh dinamika fiqih atau sains? Dengan kata lain apakah dinamika pembahasan fiqih, ritual ibadah, dan tafsir yang telah menuntun umat kepada kejayaan Islam?

Ataukah yang menghantarkan umat kepada zaman keemasannya itu dikarenakan umat Islam disibukan dengan dinamika sains?

Jawabannya tentu sangat mudah sekali didapatkan. Pasti mayoritas umat setuju bahwa dinamika sainslah yang telah merintis umat Islam meraih kejayaannya.

Sekarang pertanyaan selanjutnya adalah:

  1. Berapa banyak umat yang gandrung belajar sains?
  2. Apakah mempelajari sains sudah menjadi salah satu tema dakwah yang diusung oleh para asatidz?
  3. Apakah sudah ada infrastruktur dan sumber-sumber belajar sains pada masyarakat Islam saat ini?
  4. Apakah para ustad sudah dibekali ilmunya dengan sains?
  5. Ada berapa banyak ustadz yang menulis kajian sains di jurnal jurnal?
  6. Apakah ilmu ilmu sains mendapatkan perhatian lebih pada lembaga pendidikan Islam?
  7. Apakah kementerian agama sudah bersinergi dengan Kemendikbud memberikan pendidikan dan latihan khusus kepada guru guru sains?
  8. Apakah Kemenag dan MUI sudah memiliki pusat kajian sains?
  9. Apakah ghirah mempelajari sains sudah sama kuatnya dengan mempelajari ilmu ilmu agama?

Kalau jawaban dari pertanyaan-pertanyaan di atas masih banyak jawaban negatif, maka mengharapkan Islam memperoleh masa kejayaannya kembali bagaikan pungguk merindukan bulan…(*)