Episode Musim Haji 1446 H
Drs. H. Makmur, M.Ag
Kepala Kankemenag Bandarlampung
HATIPENA.COM – Ketika Ibrahim telah mantap melaksanakan perintah Allah untuk menyembelih putranya, Isma‘il as, dan sang istri, Hajar, pun telah merelakan anaknya dengan keimanan yang teguh, datanglah setan untuk menggoda dan menggagalkan ketaatan keluarga mulia ini.
Setan pertama kali mendatangi Ibrahim dan membisikkan keraguan ke dalam hatinya. Ia berkata bahwa perintah itu hanyalah kesesatan, bahwa Allah tidak mungkin menyuruh seseorang menyembelih anaknya sendiri.
Namun Ibrahim, dengan iman yang kokoh, menolak bisikan itu. Ia mengambil tujuh kerikil kecil dan melempar ke arah setan sambil mengucapkan: Allahu Akbar! Maka setan pun lari terbirit-birit. Inilah tempat yang kelak dikenal sebagai Jamarah al-Ula (Jamarat yang pertama).
Setelah gagal menggoda Ibrahim, setan pun mendatangi Hajar, sang istri yang salehah. Ia membujuknya agar menggagalkan perintah suaminya. Namun Hajar, namun Hajar bukan perempuan sembaranagan, ia perempuan yang suci imannya. ia berkata, “Jika ini perintah Allah, maka aku ridha.” Lalu ia pun melempar setan dengan batu kecil, sebagaimana yang dilakukan suaminya. Tempat ini kini dikenal sebagai Jamarah al-Wusṭa (Jamarat yang kedua).
Tak putus asa, setan pun pergi menemui Ismail yang masih remaja. Ia ingin menggoyahkan tekad sang anak. Namun Ismail yang telah menyerahkan jiwanya kepada Allah, menolak keras ajakan setan itu. Ia pun melemparnya dengan tujuh batu sambil menyebut nama Allah. Tempat ini disebut Jamarah al-‘Aqabah (Jamarat yang ketiga).
Itulah sejarah melontar jumrah yang kita kenal. Sebuah peristiwa penuh makna yang kini menjadi salah satu ritual utama dalam ibadah haji. Setiap tahun, jutaan umat Islam dari seluruh penjuru dunia berkumpul di Mina untuk melaksanakan ramy al-jamārāt—melempar jumrah di tiga tempat yang dahulu menjadi lokasi pengusiran setan oleh keluarga Nabi Ibrāhīm.
Dan ini telah di contohkan oleh Rosulullah dalam manasik haji wadanya. “Aku melihat Nabi SAW melempar jumrah pada hari Nahr (10 Dzulhijjah) di atas untanya, dan beliau bersabda: ‘Ambillah dariku tata cara manasik kalian’.” (HR. Muslim no. 1297).
Dalam hadis yang lain, nabi Muhammad saw bersabda “Sesungguhnya Nabi SAW melempar jumrah dengan tujuh batu kerikil dan bertakbir pada setiap lontaran.” (HR. Bukhari no. 1751).
Ritual ini bukan sekadar simbolik, tetapi juga merupakan pengajaran spiritual yang dalam: bahwa dalam hidup ini, setiap insan beriman akan selalu dihadapkan pada godaan dan bujuk rayu setan yang ingin menggagalkan ketaatan kita kepada Allah. Maka, melempar jumrah adalah deklarasi kita untuk senantiasa melawan godaan itu dengan tegas.
Dan hukum melontar jumrah ini adalah wājib dalam manasik haji. Artinya, barang siapa yang meninggalkannya tanpa uzur, maka ia wajib membayar dam (denda) berupa menyembelih seekor kambing di Tanah Haram.
Namun bila ia meninggalkannya karena uzur yang dibenarkan syariat, seperti sakit atau lanjut usia yang tak memungkinkan baginya untuk melontar sendiri, maka ia boleh diwakilkan kepada orang lain.
Pelaksanaan melontar dilakukan pada hari-hari tasyriq, yaitu tanggal 11, 12, dan 13 Dzulhijjah, dengan jumlah tujuh lemparan di setiap jamrah, dimulai dari Jamarah al-Ula, lalu Wusṭa, dan terakhir ‘Aqabah.
Setiap lemparan disertai dengan ucapan “Allāhu Akbar!” sebagai bentuk takbir perlawanan terhadap setan dan afirmasi bahwa hanya Allah yang Mahabesar, bukan hawa nafsu, bukan dunia, dan bukan godaan iblis.
Pelaksanaan melontar jumrah secara fisik dilakukan oleh jamaah haji di wilayah Mina, yang terletak tidak jauh dari Mekah. Jamaah hadir secara langsung dan membawa kerikil kecil berjumlah 49 atau 70 butir, tergantung hari mereka bermalam di Mina. Batu-batu ini bisa diambil dari Muzdalifah atau Mina dengan ukuran kira-kira sebesar biji kacang tanah, tidak terlalu besar dan tidak tajam.
Ketika melontar, jamaah harus memastikan batu mengenai atau masuk ke dalam area yang ditentukan sebagai tempat lontaran, bukan sekadar melempar ke sembarang arah. Setiap lontaran disertai dengan ucapan “Allahu Akbar”, sebagai bentuk takbir dan penegasan iman melawan segala bentuk godaan setan.
Meskipun ritual ini tampak fisik, hakikatnya adalah ibadah ruhani dan simbolik. Melontar bukan hanya melempar batu ke tugu, tapi juga melempar segala bentuk kelemahan jiwa: amarah, kesombongan, rasa putus asa, dan cinta dunia yang berlebihan. Maka, jamaah tidak hanya menjalankan syariat lahiriah, tetapi juga mujahadah batin—berjuang membersihkan diri dalam rangka kembali kepada Allah dengan jiwa yang tenang.
Ada dua hal penting yang patut menjadi perhatian dalam pelaksanaan melontar jumrah:
Pertama, setiap lontaran diiringi dengan ucapan “Allahu Akbar”. Ini bukan sekadar lafaz lisan, tetapi pernyataan tauhid dan pengagungan kepada Allah. Ketika tangan melempar kerikil sambil bertakbir, hati seorang mukmin seakan berkata: “Ya Allah, Engkaulah Yang Mahabesar, sedangkan aku ini lemah dan tak berdaya. Segala kekuatan hanya milik-Mu, bukan milikku.”
Itulah momen di mana seorang hamba menundukkan ego, merendahkan diri, dan menyadari bahwa dirinya adalah makhluk yang penuh keterbatasan, sementara Allah adalah Dzat Yang Mahakuasa.
Kedua, niat melontar bukanlah melempar batu sembarangan, tetapi sebuah tindakan simbolik untuk mengusir dan membuang bisikan setan, bahkan membuang sifat-sifat setan yang sering melekat dalam hati manusia.
Setan tak hanya menggoda dari luar, tetapi juga merasuki hati lewat sifat-sifat buruk seperti: Iri dan dengki terhadap sesama, Kikir dan bakhil dalam berbagi, Sombong dan angkuh karena merasa lebih dari orang lain, Riya’ dalam beramal karena ingin dipuji, Rakus dan tamak dalam urusan duniawi.
Semua itu adalah penyakit hati yang menjadi pintu masuk bagi setan untuk menguasai manusia. Oleh karena itu, saat jamaah melontar jumrah, hakikatnya mereka sedang menyatakan perang terhadap penyakit-penyakit itu.
Harapannya, setelah menjalani ibadah haji, hati jamaah menjadi bersih. Bukan hanya bersih secara fisik, tetapi bersih dari sifat-sifat setan yang merusak amal dan meretakkan hubungan antar sesama. Maka, seorang haji sejati adalah yang kembali ke tanah air dengan hati yang bening, perilaku yang baik, dan akhlak yang mulia. Ia menjadi pribadi yang ramah, jujur, dermawan, dan rendah hati—sebagaimana ajaran Islam yang sejati.
Semoga seluruh jamaah haji diberikan Kesehatan dan bisa melaksanakan ritul manasik haji yaitu melontar jamarat dengan maksimal, dan yang lenih penting Ketika pulang haji bisa mengaplikasikanya dalam kehidupan sehari hari, amiiin.. (wallahu’alam). (*)