HATIPENA.COM adalah portal sastra dan media untuk pengembangan literasi. Silakan kirim karya Anda ke Redaksi melalui pesan whatsapp ke 0812 1712 6600 ------ HATIPENA.COM adalah portal sastra dan media untuk pengembangan literasi. Silakan kirim karya Anda ke Redaksi melalui pesan whatsapp ke 0812 1712 6600 ------ HATIPENA.COM adalah portal sastra dan media untuk pengembangan literasi. Silakan kirim karya Anda ke Redaksi melalui pesan whatsapp ke 0812 1712 6600 ------ HATIPENA.COM adalah portal sastra dan media untuk pengembangan literasi. Silakan kirim karya Anda ke Redaksi melalui pesan whatsapp ke 0812 1712 6600 ------ HATIPENA.COM adalah portal sastra dan media untuk pengembangan literasi. Silakan kirim karya Anda ke Redaksi melalui pesan whatsapp ke 0812 1712 6600

Menang Tanpa Menyakiti

August 8, 2025 07:09
IMG_20250808_070809

Drs. Makmur, M. Ag
Kepala Kemenag Kota Bandarlampung

HATIPENA.COM – Penaklukan Kota Makkah adalah salah satu peristiwa paling indah dalam sejarah Islam. Bayangkanlah: lebih dari sepuluh ribu pasukan berangkat bersama Nabi Muhammad saw dari Madinah. Pedang tak terhunus, tombak tak teracung, dan busur panah tak terlepas. Kota Makkah takluk sebelum perang terjadi. Sejarah mencatat, kemenangan besar ini diraih tanpa pertumpahan darah.

Peristiwa ini bermula dari Perjanjian Hudaibiyah. Kesepakatan damai yang ditandatangani pada tahun 6 Hijriah itu melarang kaum Muslimin dan Quraisy untuk saling berperang selama sepuluh tahun. Namun pada tahun kedelapan, Quraisy melanggar perjanjian dengan menyerang Bani Khuza’ah—sekutu Rasulullah. Pengkhianatan ini menjadi alasan Rasulullah memimpin pasukan menuju kampung halamannya. Bukan untuk membalas dendam, melainkan demi menegakkan kehormatan dan menjaga keamanan umat.

Ketika pasukan Islam yang besar itu mengepung Makkah dari empat penjuru, suasana menjadi tegang. Kota seakan terdiam. Para tokoh Quraisy yang dulu memusuhi Nabi diliputi rasa takut. Mereka membayangkan akan dibalas atas segala perlakuan di masa lalu. Udara pun terasa berat—hening yang mencekam menyelimuti kota.

Namun, yang terjadi sungguh di luar dugaan. Di tengah ketegangan itu, Rasulullah saw berdiri di hadapan mereka dengan penuh wibawa dan kelembutan. Beliau berpidato: “Wahai kaum Quraisy, menurut kalian apa yang akan aku lakukan terhadap kalian?”

Mereka terdiam. Tak ada yang berani menjawab. Tapi yang keluar dari lisan Nabi bukan ancaman: “Pergilah kalian. Kalian semua bebas.” Tak berhenti di situ, Nabi menenangkan mereka lagi: “Siapa pun yang masuk ke rumahnya, berlindung di Masjidil Haram, atau masuk ke rumah Abu Sufyan, maka ia aman.”

Sekejap, suasana berubah. Ketakutan yang menggumpal dalam dada mereka luruh. Orang yang dulu mereka usir dan sakiti kini datang membawa pengampunan. Bukan dendam yang dibalas, tapi cinta yang ditebarkan. Bukan kekerasan yang ditimpakan, tapi kelembutan yang dihadiahkan.

Sikap Rasulullah saw mengguncang hati mereka. Penduduk Makkah yang semula siaga menjadi luluh. Banyak yang kemudian memeluk Islam dengan penuh kesadaran. Termasuk Abu Sufyan dan istrinya, Hindun-yang dahulu memutilasi jasad Sayyidina Hamzah dalam Perang Uhud. Inilah kemenangan sejati, menaklukkan kota yang pernah memusuhi beliau, tanpa peperangan, tanpa pertumpahan darah.

Peristiwa luar biasa ini pun diabadikan dalam wahyu: “Apabila telah datang pertolongan Allah dan kemenangan, dan engkau melihat manusia berbondong-bondong masuk ke dalam agama Allah, maka bertasbihlah dengan memuji Tuhanmu dan mohonlah ampun kepada-Nya. Sungguh, Dia Maha Penerima tobat.” (QS An-Nashr: 1–3)

Ayat ini mengingatkan bahwa kemenangan sejati datang dari Allah. Kemenangan ini tidak untuk dirayakan dengan euforia dan hura hura, tetapi disambut dengan rasa syukur dengan banyak bertasbih, tahmid, dan istighfar. Karena bisa saja, di tengah kemenangan itu, ada hati yang tanpa sengaja terluka.

Inilah akhlak luar biasa Rasulullah saw. Saat bisa membalas, beliau memilih memaafkan. Saat punya kuasa menghukum, beliau justru mengulurkan tangan damai. Saat berpeluang menyakiti, beliau hadirkan kasih sayang. Menang tanpa melukai. Kalah tanpa merasa dikhianati.

Peristiwa Fathu Makkah adalah pelajaran berharga bagi kita. Dalam persaingan apa pun-jabatan, prestasi, kekuasaan – kita sering tergoda untuk menjatuhkan. Tapi Islam mengajarkan, berkompetisi tidak harus menyakiti. Kita bisa bersaing dengan adab, etika, dan akhlak. Tanpa saling menghina, tanpa fitnah, tanpa merendahkan.

Ada pepatah bijak yang patut direnungkan: “Silakan melangkah, tapi jangan injak kaki orang lain.” Artinya menang tidak harus membuat orang lain kalah dan terluka. Itulah kemenangan yang bermartabat. Itulah keberhasilan yang indah.

Hari itu, Rasulullah saw tidak berpesta. Tidak bersorak. Tidak mendirikan monumen kemenangan. Beliau justru tunduk dan bersujud kepada Allah, penuh rasa syukur dan rendah hati.

Makkah memang telah ditaklukkan. Tapi lebih dari itu, hati-hati yang keras pun luluh. Dan di situlah letak kemenangan terbesar, ketika kasih sayang mengalahkan kebencian, ketika akhlak lebih tinggi dari kekuatan.

Semoga kita bisa meneladani Rasulullah saw dalam berkompetisi—menang tanpa menyakiti, berhasil tanpa menjatuhkan, dan unggul tanpa merendahkan martabat orang lain. (*)

Wallāhu a‘lam.