Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600 ------ Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600 ------ Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600 ------ Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600 ------ Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600

Mendunia-Akhiratkan Kehidupan

January 31, 2025 20:46
IMG_20250131_204526

Oleh: Wawan Susetya *)

Hikmah

HATIPENA.COM – Sepatutnya, kita merenungkan perkataan Imam Hasan Al-Bashri (tokoh sufi generasi pertama) yang pernah berkata: Hukuman para ulama ialah kematian hati dan tandanya ialah mencari dunia dengan mengorbankan amalan akhirat.

Tipologi karakter ulama seperti yang diisyaratkan Imam Al Hasan di atas, barangkali bisa diidentifikasikan sebagai orang yang terjebak ke dalam perbuatan menduniakan akhirat; artinya amalan akhirat hanya dipergunakan untuk kepentingan dunia atau mendewakan harta semata.

Oleh karenanya, ada baiknya hijrah ke pilihan yang berikutnya yakni mengakhiratkan dunia; artinya segala sesuatu yang berhubungan dengan keduniaan dijadikan sebagai amal untuk kepentingan akhirat.

Dan, gabungan ideal dari keduanya adalah orang yang mampu mendunia-akhiratkan kehidupan semata-mata untuk mendekatkan diri kepada Allah.
Memang, kebahagiaan dan ketentraman manusia itu bertingkat-tingkat sesuai dengan keinginan hatinya. Orang yang celaka pun, bahkan, bisa jadi menganggap dirinya telah mencapai kebahagiaan hanya gara-gara hartanya melimpah.

Barangkali, jika diformulasikan dalam konteks ini manusia itu ada empat tingkatan.

Pertama, ada orang yang miskin (sengsara) di dunia, juga miskin (sengsara) di akhirat; adalah gambaran orang yang sangat sial, karena tidak beruntung di dunia dan di akhirat. Kehidupannya yang miskin di dunia tidak dipergunakan untuk meraih jatah pahala sabar dari Allah, sehingga hatinya sangat gersang dari nilai-nilai ketuhanan sebagaimana sabda Nabi Saw tentang kefakiran dekat dengan kekufuran.

Mereka adalah orang-orang yang tak mampu memahami makna syukur sedikit pun, sehingga hatinya kufur (menutup) potensi nikmat Allah yang ada pada dirinya dan di alam semesta ini.

Kedua, orang yang kaya (bahagia) di dunia, tetapi miskin (sengsara) di akhirat; adalah gambaran orang yang kaya harta dengan jabatannya yang tinggi, tetapi hatinya gersang dari keyakinan kepada Tuhan.

Mereka hanya mengetahui segala sesuatu yang berkaitan dengan keduniaan semata. Mereka tidak pernah berpikir dan merenungkan bahwa kelak di akhirat ada kehidupan yang langgeng.

Golongan ini (pertama dan kedua), jelas ada sesuatu yang salah terhadap mereka. Sebab, pada dasarnya semua manusia yang dilahirkan ke muka bumi bersifat fitrah sebagaimana firman Allah: Hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada Islam sebagaimana engkau adalah hanief (secara kodrati memihak kebenaran).

Itulah fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan pada fitrah Allah, (itulah) agama yang lurus, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui. (QS 30 Ar-Ruum:30). Akibatnya, jika kebengalan di hati orang itu makin mengeras, mereka bukan saja golongan yang sesat jalan, menolak Islam, bahkan memusuhi Islam.

Nasruddin Razak dalam bukunya Dienul Islam mengatakan, sebab-sebab seseorang menjadi sesat, menolak atau membenci Islam ada dua.

Pertama, orang itu tidak mendapat tuntunan rohaniah agama dan pendidikan tauhid.

Kedua, orang itu mendapat pengaruh dari lingkungan yang buruk. Bisa jadi dari kalangan rumah tangganya, tetangganya, masyarakatnya dan pergaulannya. Atau bisa juga karena mendapatkan informasi yang keliru tentang Agama Islam.

Ketiga, orang yang miskin (sengsara) di dunia, tetapi kaya (bahagia) di akhirat; adalah gambaran orang yang lebih sukses yang sebenarnya meskipun ia menderita hidupnya di dunia.

Bekalnya tidak lain adalah kesabaran, karena menanggung kehidupan yang miskin tadi. Namun, karena di hatinya telah ada seberkas cahaya, kemiskinannya hidup di dunia tidak dipedulikannya.

Artinya, orang tadi meskipun miskin tetapi sesungguhnya hatinya tetap lapang dada dan bersikap qanaah. Begitulah laku orang-orang yang mendekatkan diri kepada-Nya. Orang semacam ini disebut qabd (sempit), karena banyak mengalami kesedihan dan kesusahan, sehingga banyak bersabar atas ujian yang diberikan Allah kepada dirinya.

Keempat, orang yang kaya (bahagia) di dunia, juga kaya (bahagia) di akhirat; sesungguhnya golongan orang ini sama saja bagi mereka baik kaya maupun miskin ketika hidup di dunia sebab yang terpenting bagi mereka adalah kehidupan kekal di akhirat kelak.

Ia, dalam istilah tasawuf, tergolong sebagai bast (luas): yakni merasakan kesenangan (karunia) dari Allah, sehingga mengantarkan kepada dirinya untuk senantiasa bersyukur kepada Allah. Dan, itulah memang jalan bagi dirinya untuk mendekatkan diri kepada-Nya (Syech Ibnu Athoillah Asy-Syakandari, Kitab Al Hikam). [*]

*) Wawan Susetya kelahiran Tulungagung, penulis buku, Sastrawan dan budayawan.