Drs. H. Makmur, M.Ag
Wakil Ketua PWNU Lampung dan Kepala Kantor Kemenag Kota Bandar Lampung
HATIPENA.COM – Pada saat pulang dari Perang Tabuk, Rasulullah saw. bersama para sahabat bertemu dengan seorang laki-laki tua di sudut Kota Madinah. Nampak tangan laki-laki itu kasar, banyak yang melepuh dan penuh goresan-goresan kasar. Rasulullah bertanya, “Kenapa dengan tanganmu?” Dengan wajah tertunduk, laki-laki itu menjawab, “Aku bekerja setiap hari membelah batu, lalu mengangkutnya sendiri untuk dijual. Hasilnya aku gunakan untuk menafkahi istri dan anak-anakku. Karena itulah tanganku menjadi kasar.”
Mendengar penjelasan itu, Rasulullah tersenyum, lalu dengan lembut menggenggam dan mencium tangan tukang batu tersebut. Beliau bersabda, “Inilah tangan yang tidak akan disentuh oleh api neraka selama-lamanya.”
Betapa mulianya laki-laki tersebut hingga Rasulullah saw. mencium tangannya. Dalam sejarah, Rasulullah hanya mencium tangan dua orang, yaitu tangan putrinya, Siti Fatimah Az-Zahra, dan tangan tukang batu itu. Hal ini menunjukkan betapa mulianya tukang batu tersebut. Profesi yang tampak kasar itu justru memiliki kehormatan di sisi Allah karena dilakukan dengan kejujuran dan demi menafkahi keluarga dengan cara halal. Bahkan, dalam suatu kesempatan, Nabi saw. bersabda bahwa para pekerja yang mencari nafkah untuk keluarganya termasuk dalam jihad fisabilillah.
Kisah ini memberikan pelajaran berharga tentang makna kerja dalam Islam. Bekerja bukan sekadar mencari nafkah, tetapi juga bagian dari ibadah. Jika dilakukan dengan niat yang benar, pekerjaan akan bernilai pahala di sisi Allah. Oleh karena itu, ada beberapa pelajaran dari kisah ini yang patut kita renungkan.
Pertama, bekerja untuk menafkahi keluarga adalah ibadah. Islam tidak mengajarkan untuk berpangku tangan atau bergantung pada orang lain jika masih mampu berusaha. Setiap tetes keringat dalam mencari rezeki halal adalah tanda ketakwaan seseorang kepada Allah. Tukang batu tersebut bukan hanya bekerja keras, tetapi juga melakukannya dengan jujur. Ia tidak mengambil jalan pintas yang haram atau bermalas-malasan. Islam sangat menghargai usaha yang sungguh-sungguh dan melarang segala bentuk kecurangan. Kejujuran dalam bekerja membawa keberkahan, sedangkan kecurangan hanya akan membawa kehancuran.
Dalam suatu dialog dengan para sahabat, Nabi saw. menggambarkan bahwa para pencari nafkah digolongkan sebagai jihad fisabilillah. Diriwayatkan bahwa suatu ketika seorang laki-laki melintas di hadapan Rasulullah. Orang itu dikenal sebagai pekerja yang giat dan tangkas. Para sahabat berkata, “Wahai Rasulullah, andai bekerja seperti yang dilakukan orang itu dapat digolongkan jihad di jalan Allah, alangkah baiknya.” Rasulullah menjawab, “Jika ia bekerja untuk menghidupi anak-anaknya yang masih kecil, maka itu fisabilillah. Jika ia bekerja untuk menghidupi orang tuanya yang sudah lanjut usia, maka itu fisabilillah. Jika ia bekerja untuk kepentingan dirinya sendiri agar tidak meminta-minta, maka itu fisabilillah.” (HR. Thabrani). Dalam hadis lain disebutkan, “Barang siapa yang bekerja keras mencari nafkah untuk keluarganya, maka ia seperti pejuang di jalan Allah Azza wa Jalla.” (HR. Ahmad).
Kedua, tidak ada pekerjaan halal yang hina. Rasulullah saw. tidak memandang rendah profesi apa pun, termasuk tukang batu. Justru beliau menghormatinya dengan mencium tangannya. Hal ini menunjukkan bahwa dalam Islam, tidak ada pekerjaan halal yang hina. Baik pedagang, petani, buruh, maupun pejabat, semua sama mulianya di hadapan Allah selama dilakukan dengan amanah dan kejujuran.
Islam juga mengajarkan bahwa seorang Muslim harus berusaha mandiri dan tidak menggantungkan hidupnya pada orang lain. Meminta-minta tanpa keperluan adalah sesuatu yang tidak disukai dalam Islam. Rasulullah saw. mengecam orang yang malas dan lebih memilih meminta-minta daripada bekerja, sebagaimana dalam hadis, “Seseorang yang membawa tali, lalu pergi ke gunung, kemudian kembali dengan seikat kayu bakar di punggungnya dan menjualnya sehingga Allah mencukupkan kebutuhannya, itu lebih baik baginya daripada meminta-minta kepada orang lain.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Ketiga, bekerja dengan profesionalisme dan kejujuran membawa kemuliaan di sisi Allah. Tangan yang kasar dan penuh kapalan bukanlah tanda penderitaan, melainkan tanda kehormatan di sisi Allah. Allah tidak melihat seberapa besar hasil yang didapat, tetapi seberapa jujur dan ikhlasnya usaha seseorang. Oleh karena itu, siapa pun yang bekerja keras dengan keikhlasan dan ketekunan, meskipun hasilnya sedikit, tetap akan mendapat pahala dan berkah dari Allah.
Dalam pandangan Allah, semua manusia sama, tidak ada yang lebih mulia hanya karena status sosial atau pekerjaannya. Seorang raja dan seorang tukang batu sama di hadapan-Nya. Yang membedakan mereka hanyalah ketakwaan dan keikhlasan dalam menjalani hidup. Sebagaimana firman Allah dalam Al-Qur’an: “Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kalian di sisi Allah adalah yang paling bertakwa.” (QS. Al-Hujurat: 13).
Lelaki tukang batu dalam kisah ini mungkin bukan seorang pemimpin, bukan pula orang kaya atau berpengaruh di masyarakat. Namun, Rasulullah saw. menunjukkan penghormatan luar biasa kepadanya. Ini membuktikan bahwa dalam Islam, kemuliaan tidak diukur dari jabatan atau harta, tetapi dari seberapa lurus dan bersih hati seseorang dalam menjalani hidupnya.
Rasulullah saw. tidak mencium tangan lelaki itu karena kekuatannya dalam memecah batu, tetapi karena kejujuran dan ketulusannya dalam bekerja. Ini menunjukkan bahwa akhlak lebih bernilai daripada sekadar kekayaan atau kekuasaan.
Oleh karena itu, bekerjalah secara profesional dengan penuh integritas, niscaya kita mendapatkan kemuliaan dari Allah Swt. Seorang dokter harus menjalankan tugasnya dengan keahlian dan etika medis. Seorang guru harus mendidik muridnya dengan kesabaran dan ilmu yang benar. Seorang pegawai negeri harus melayani masyarakat dengan baik. Setiap pekerjaan memiliki tanggung jawab moral yang harus dijalankan dengan sungguh-sungguh.
Kejujuran dan integritas adalah kunci kemuliaan. Seorang pemimpin yang korup akan hina di hadapan Allah, sedangkan seorang buruh yang jujur akan dimuliakan-Nya. Islam menempatkan akhlak sebagai dasar utama dalam kehidupan, sebagaimana sabda Rasulullah saw., “Sesungguhnya orang yang paling sempurna imannya di antara kalian adalah yang paling baik akhlaknya.” (HR. Tirmidzi).
Kisah ini bukan sekadar tentang seorang tukang batu, tetapi tentang bagaimana Islam menghargai kerja keras, kejujuran, dan integritas. Allah tidak memandang siapa kita berdasarkan profesi, tetapi melihat seberapa besar ketakwaan, kejujuran, dan akhlak kita.
Semoga kita mendapatkan kemuliaan melalui profesi yang kita jalani. Wallahu a’lam. (*)