Episode Musim Haji 1446 H
Oleh: Drs. H. Makmur, M.Ag
Kepala Kantor Kemenag Kota Bandarlampung
HATIPENA.COM – Dalam ibadah haji dan umrah, titik awal pelaksanaan disebut dengan miqat. Secara bahasa, miqat berarti waktu atau tempat yang telah ditetapkan. Dalam istilah syariat, miqat adalah batas waktu dan tempat yang ditentukan untuk memulai ihram dan berniat menunaikan ibadah haji atau umrah.
Dalam fiqh, miqat terbagi menjadi dua jenis: miqat zamani dan miqat makani. Miqat zamani adalah batas waktu pelaksanaan ibadah haji, yaitu mulai dari awal bulan Syawal hingga terbit fajar pada hari Idul Adha (10 Dzulhijjah). Adapun untuk umrah, miqat zamani tidak dibatasi oleh waktu dan dapat dilakukan kapan saja sepanjang tahun.
Miqat makani adalah batas tempat yang telah ditetapkan untuk mulai berihram dan berniat haji atau umrah. Nabi Muhammad SAW telah menetapkan lima lokasi miqat makani: “Sesungguhnya Nabi SAW menetapkan Dzulhulaifah sebagai miqat bagi penduduk Madinah, Al-Juhfah bagi penduduk Syam, Qarnul Manazil bagi penduduk Najd, Yalamlam bagi penduduk Yaman, dan Dzat ‘Irq bagi penduduk Irak” (HR. Bukhari dan Muslim).
Bagi jamaah haji Indonesia yang masuk gelombang II, pelaksanaan miqat sejajar dengan Yalamlam, yang berarti harus dilakukan di dalam pesawat sebelum mendarat di Bandara King Abdul Aziz.
Namun, karena hal ini dianggap menyulitkan (masyaqqah) jamaah, Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengeluarkan fatwa yang membolehkan jamaah memulai ihram dari Bandara King Abdul Aziz (KAA) di Jeddah. Fatwa ini pertama kali dikeluarkan pada 29 Maret 1980, dan kemudian ditegaskan kembali pada 16 September 1981 dan 4 Mei 1996.
Fungsi miqat adalah sebagai titik awal bagi jamaah untuk berniat ihram dan mulai menjalankan larangan-larangan ihram selama haji atau umrah.
Apabila seorang jamaah melewati miqat tanpa berihram, maka ibadahnya tidak sah menurut syariat, atau ia wajib membayar dam (denda).
Singkatnya, miqat adalah batas waktu dan tempat yang wajib dipatuhi jamaah haji dan umrah untuk memulai ihram agar ibadahnya sah menurut syariat Islam.
Memaknai Miqat dalam Berhaji
Secara syar’i, miqat adalah ketentuan yang menunjukkan keharusan, keseriusan, dan komitmen dalam menjalankan ibadah. Meskipun tampak sederhana, karena hanya melibatkan pergantian pakaian ke ihram dan pengucapan niat, namun dari sinilah seluruh rangkaian ibadah haji dimulai.
Miqat menjadi penentu awal: apakah seseorang akan menjalani ibadah haji dengan benar dan mencapai predikat haji mabrur atau tidak.
Berikut beberapa makna yang mendalam, sekaligus menjadi pelajaran penting yang terkandung dalam pelaksanaan miqat.
Pertama, Miqat memberikan pelajaran tentang keteraturan dan ketertiban.
Islam mengajarkan bahwa dalam setiap aspek kehidupan, keteraturan dan ketertiban adalah fondasi yang tak boleh diabaikan. Dalam ibadah haji dan umrah, Allah menetapkan miqat sebagai batas yang harus ditaati. Hal ini menegaskan bahwa bahkan dalam mendekat kepada Allah pun ada tata cara dan aturan yang tidak boleh dilanggar.
Teratur berarti mengikuti urutan yang telah ditentukan, sementara tertib menuntut disiplin dan konsistensi. Seseorang tidak boleh memulai ihram sesuka hati; ia harus mematuhi ketentuan syariat. Ini melatih jiwa untuk hidup sistematis, terorganisir, dan tidak semaunya sendiri.
Ketika keteraturan dan ketertiban menjadi karakter, seseorang akan lebih siap menghadapi tantangan kehidupan dan meraih keberhasilan, baik di dunia maupun akhirat.
Kedua, miqat mengajarkan kesungguhan dan komitmen.
Mengenakan ihram di miqat bukan hanya soal mengganti pakaian, tapi merupakan simbol dari kesungguhan dan tekad untuk memulai ibadah secara total. Hal ini mengajarkan bahwa setiap langkah menuju kebaikan harus dimulai dengan niat dan komitmen yang kuat.
Setelah berniat, jamaah terikat oleh larangan ihram. Ini menunjukkan bahwa setiap ikrar kepada Allah harus disertai tanggung jawab. Dalam kehidupan sehari-hari, seseorang yang memulai sesuatu dengan komitmen tinggi akan lebih mampu bertahan, tidak mudah menyerah, dan setia pada tujuannya. Inilah pelajaran tentang pentingnya integritas dan konsistensi.
Ketiga, miqat mengajarkan diri untuk menghindari kesalahan.
Melanggar aturan miqat, seperti mengenakan ihram setelah melewatinya tanpa alasan syar’i, bisa membatalkan ibadah atau mewajibkan dam. Ini mengajarkan pentingnya disiplin dan perhatian terhadap prosedur.
Miqat menanamkan sikap teliti, terencana, dan penuh kesadaran dalam bertindak. Kesalahan kecil yang dibiarkan bisa membawa kekacauan besar. Dalam masyarakat, keluarga, atau organisasi, kepatuhan terhadap aturan adalah jaminan stabilitas dan keadilan.
Miqat melatih umat Islam untuk berpikir matang, bertindak dengan dasar hukum, dan tidak sembrono dalam mengambil keputusan.
Keempat, miqat mengajarkan diri untuk tidak melampaui batas.
Miqat menyadarkan kita bahwa dalam hidup selalu ada batas. Batas bukan untuk membatasi kebebasan, tetapi untuk menjaga keteraturan dan kebaikan.
Dalam konteks ibadah, batas miqat menunjukkan bahwa kita tidak bisa memasuki tanah suci tanpa persiapan spiritual yang sah.
Dalam kehidupan, batas berlaku dalam semua hal—baik dalam pekerjaan, pergaulan, maupun dalam agama. Melanggar batas dapat memicu konflik, kerusakan, bahkan kehancuran. Miqat mengingatkan agar kita mengenali, menghormati, dan tidak melampaui batas yang telah ditetapkan oleh Allah maupun norma sosial.
Kelima, miqat mengajarkan kesetaraan di hadapan ilahi. Di miqat, semua jamaah mengenakan pakaian ihram yang seragam dan sederhana. Tidak ada perbedaan antara yang kaya dan miskin, pejabat dan rakyat.
Semua meninggalkan simbol keduniawian dan berdiri sejajar sebagai hamba Allah. Ini adalah pelajaran mendalam tentang persamaan hakikat manusia di hadapan Tuhan.
Pakaian ihram menanggalkan simbol status, kekuasaan, dan kemewahan. Seseorang diajak untuk menanggalkan ego dan keangkuhan. Kesadaran bahwa semua manusia berasal dari tanah dan akan kembali ke tanah mengajarkan kita untuk saling menghormati. Inilah pelajaran tawadhu’, kerendahan hati, dan kesetaraan yang sangat penting untuk membangun masyarakat yang harmonis dan adil.
Semoga kita dapat mengambil pelajaran dan hikmah dari miqat sebagai bagian awal dari ibadah yang agung ini. Wallahu a’lam. (*)