Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600 ------ Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600 ------ Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600 ------ Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600 ------ Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600

Ruwahan

February 7, 2025 16:37
IMG-20250207-WA0078

Foto : Dok. Pribadi
Penulis : Ichwan Adji Wibowo *)

Sebuah laku budaya yang bersumber dari tradisi jawa, biasanya dalam rangka songsong Ramadhan masyarakat muslim Nusantara melakukan ritual kirim doa untuk orangtua atau leluhurnya yang sudah meninggal dunia. Laku ritual ini biasa dilaksanakan pada bulan Ruwah menurut penanggalan Jawa, atau pertengahan bulan Sya’ban sesuai kalender Hijriyah.

Sebagai laku ritual budaya sudah pasti ia sesungguhnya sekadar “kemasan”, sekadar bungkus, sekadar kulit. Manusia Nusantara masa lalu memang selalu mengembangkan ekspresi keberagamaannya melalui pesan pesan simbolik, tradisi dan kebudayaan yang ditempatkan sebagai jalan untuk menambatkan esensi nilai nilai spritualitas agama, bukan sebaliknya.

Kegembiraan dan kerelaan bersibuk diri menyambut momentum Ramadhan merasuki manusia Indonesia dengan begitu intristik. Ia rela mengeluarkan sejumlah rupiah dengan semangat keberkahan yang tak ternilai. Kerepotannya diubah menjadi pertemuan laku individual dan sosial yang mulia.

Di sisi lain perjalanan menjumpai Ramadhan yang luhur tentu dibutuhkan kesadaran rohaniah, agar momentum perjumpaan itu menjadi tidak sekadar jasadiyah tetapi juga melampaui perjalanan ukhrowi. Dalam kontek itulah kesadaran mengingat masa lalu, sekaligus mengingat kematian, serta menyambungkan kembali dengan alam rohani para leluhur menjadi penting dijalani.

Secara sufistik setiap ibadah mahdoh kita seperti sholat, puasa, zakat, haji sesungguhnya juga secara individual merupakan perjalanan bathin yang harus dimaknai sebagai sebuah “peristiwa besar”. Sebuah perjumpaan mahabbah antara hamba dengan Tuhannya yang mengguncangkan kesadaran rohani kita.

Maka demi mengupaya memperoleh penghayatan spiritual dalam menemui Ramadhan yang agung, oleh manusia Nusantara masa lalu, ritual ruwahan dimaksudkan sebagai wasilah untuk memesonakan keaguangan Ramadhan, demi menjaga sakralitasnya, sekaligus menjadi cara meresonansi atau menggemakan keagungan Ramadhon yang patut dirindukan itu melalui laku budaya.

Lantas masihkah, kita sebagai manusia nusantara hari ini, punya kehendak untuk terus merawat dan menjaga karakteristik keindonesiaan, yang justru dipakai untuk melengkapi estetika keberagamaan kita, tanpa merusak prinsip syareat yang bersifat mutlak.

Jika hari hari ini, ketika makin menjelang Ramadhan suasana kebatinan kita justru terasa gersang dan kerontang penghayatan spiritual, belum atau bahkan tidak seterguncang pengalaman batinnya di banding perjumpaan dengan puasa kita di masa lalu, maka seharusnya kita patut merasa resah.

Atau jangan jangan, sejak di republik ini panggung-panggung dakwah dipenuhsesaki oleh kaum pemarah, dan di era digital manusia Nusantara lebih intens bersosial secara gegap gempita di ruang maya, maka ekspresi keberagamaan makin tercerabut dari realitas kemanusiaan dan kebudayaan.

Jangan sampai ada agenda politik di republik ini yang ditumpangi “kekuatan jahat” yang berambisi memporak porandakan kesepakatan anak bangsa untuk hidup bersama dalam bangunan rumah besar NKRI. Hingga menjelang puasa pun atmosfir rohaniyah kita menjadi terganggu karenanya.

Kiranya kita juga perlu membangun kreativitas laku kebudayaan baru yang disesuaikan dengan konteks manusia Nusantara hari ini, tentu cara ini tidak menabrak kaidah al-muhafadhah ‘alal qadim al-shalih wal akhdzu bil jadidil ashlah yang sangat populer di kalangan nahdliyin yang kemudian dilengkapi oleh kyai Maruf Amin dengan wal ishlah ila ma huwal ashlah tsummal ashlah fal ashlah.

Ruwahan sebagai tradisi yang bersumber dari kebudayaan nusantara haruslah tetap direaktualisasikan tapi pada saat yang sama perlu Ruwahan dalam konteks dan desain yang lain yang bisa diakrabi manusia Nusantara hari ini.

Agenda pemilu telah berlalu, kini saatnya bangsa ini menyelenggarakan Ruwahan Kubro, agar tidak saja secara individual setiap kita menemu jalan kembali menjadi manusia, tetapi secara kolektif sebagai bangsa kita juga dikembalikan pada kesejatiannya sebagai bangsa yang berkebudayaan dan berkeadaban….

Bishawab…

*) Penulis Ketua PCNU Kota Bandar Lampung

Berita Terkait

Berita Terbaru