HATIPENA.COM adalah portal sastra dan media untuk pengembangan literasi. Silakan kirim karya Anda ke Redaksi melalui pesan whatsapp ke 0812 1712 6600 ------ HATIPENA.COM adalah portal sastra dan media untuk pengembangan literasi. Silakan kirim karya Anda ke Redaksi melalui pesan whatsapp ke 0812 1712 6600 ------ HATIPENA.COM adalah portal sastra dan media untuk pengembangan literasi. Silakan kirim karya Anda ke Redaksi melalui pesan whatsapp ke 0812 1712 6600 ------ HATIPENA.COM adalah portal sastra dan media untuk pengembangan literasi. Silakan kirim karya Anda ke Redaksi melalui pesan whatsapp ke 0812 1712 6600 ------ HATIPENA.COM adalah portal sastra dan media untuk pengembangan literasi. Silakan kirim karya Anda ke Redaksi melalui pesan whatsapp ke 0812 1712 6600

Sedekah, dari Biji Menjadi Taman Kehidupan

November 3, 2025 12:54
1762147948545

Tadabur QS Al-Baqarah 2 : 261–274 dalam Konteks Kesalehan Sosial Modern

Oleh: Ali Samudra | Penulis
Pembina Yayasan Masjid Baitul Muhajirin, Pondok Kelapa, Jakarta Timur

HATIPENA.COM – Al-Qur’an melukiskan sedekah dengan perumpamaan yang amat indah:
“Perumpamaan orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah adalah seperti sebutir biji yang menumbuhkan tujuh bulir, pada tiap-tiap bulir ada seratus biji. Allah melipatgandakan bagi siapa yang Dia kehendaki.” (QS Al-Baqarah: 261)

Sedekah adalah biji. Dari satu butir kecil, tumbuh ratusan bahkan ribuan kebaikan. Filosofi ini berlaku sepanjang masa: setiap sedekah tidak berhenti pada penerima, melainkan beranak-pinak dalam jejaring kehidupan.

Sedekah dalam Makna Qur’ani

QS Al-Baqarah 2:261–274 adalah ensiklopedia sedekah. Ia menekankan bahwa sedekah harus ikhlas, tidak boleh riya’, harus dari harta yang baik, dan ditujukan juga kepada mereka yang menjaga kehormatan diri. Allah menegaskan bahwa sedekah bisa dilakukan siang atau malam, sembunyi-sembunyi atau terang-terangan—semuanya berpulang pada niat dan keikhlasan.

Sedekah sebagai Tathawwu‘ – Amal sukarela. Al-Qur’an menggunakan istilah tathawwu‘ (تطوع) untuk menyebut amal sukarela yang lahir dari kerelaan hati. Sedekah termasuk di dalamnya.
Allah berfirman: “Perkataan yang baik dan pemberian maaf lebih baik daripada sedekah yang diiringi dengan menyakiti hati.” (QS 2:263).

Ayat ini seolah menegur bahwa sedekah bukan sekadar jumlah uang yang keluar dari dompet, tapi lebih dalam: bagaimana hati kita menunduk, bagaimana kata-kata kita tidak melukai penerima. Betapa sering tangan memberi, tapi lidah merendahkan. Ayat ini mengingatkan: jangan sampai sedekah berubah jadi beban bagi yang menerima.

Tathawwu‘ (تطوع), yang berarti amal sukarela, amal yang lahir dari kerelaan hati tanpa paksaan. Berbeda dengan zakat yang bersifat wajib dan memiliki aturan jelas mengenai nisab, kadar, serta penerimanya, sedekah adalah ruang kebebasan bagi seorang mukmin untuk menunjukkan cinta kasih dan keikhlasan. Dengan sedekah, manusia melepaskan ego kepemilikan, menyadari bahwa harta hanyalah titipan dari Allah.

Tathawwu‘ dalam sedekah melatih hati agar ringan memberi tanpa menunggu imbalan. Justru di situlah letak keindahannya: seseorang bisa memberi kapan saja, dalam bentuk apa saja, kepada siapa saja yang membutuhkan. Ia bisa berupa harta, tenaga, ilmu, bahkan senyum dan kata-kata yang menenangkan. Inilah yang menjadikan sedekah sebagai jalan ibadah yang terbuka luas—siapapun bisa melakukannya, tanpa terkendala jumlah atau keadaan.

Sedekah sebagai tathawwu‘ juga menumbuhkan kemandirian spiritual. Orang yang beramal dengan sukarela merasakan kelapangan batin karena tindakannya lahir dari pilihan sadar, bukan keterpaksaan. Ia adalah wujud cinta yang mengalir dari hati menuju sesama manusia. Karenanya, tathawwu‘ adalah latihan keikhlasan yang menjadikan seorang hamba lebih dekat dengan Allah, karena ia belajar memberi sebagaimana Allah selalu memberi. (QS Al-Qasas: 28)

Ziyādatul Khair – Bertambahnya Kebaikan
Secara matematis, memberi berarti berkurang. Tetapi dalam perhitungan Allah, memberi justru ziyādatul khair (زيادة الخير) – menambah kebaikan.
Allah menggambarkan sedekah ikhlas seperti kebun di tanah subur, yang disiram hujan lebat lalu menghasilkan buah berlipat (QS 2:265). Filosofinya sederhana: sedekah bukan kehilangan, melainkan investasi. Dunia berkurang, akhirat bertambah.

Lebih dari itu, memberi melahirkan rasa cukup dalam hati. Orang yang terbiasa bersedekah jarang terjebak dalam kerakusan. Mereka merasakan kecukupan batin, meski kantongnya sederhana, karena ia sedang hidup dalam aliran ziyadatul khair. Kebaikan yang kita tebarkan tidak pernah berhenti kepada penerima; ia bergulir, berlipat dan kembali pada diri kita dalam bentuk yang lebih indah: ketenangan jiwa, kecintaan manusia dan Ridha Allah.

Sedekah Zaman Nabi – Solideritas Muhajirin dan Ansor

Madinah adalah panggung sejarah sedekah yang hidup. Orang-orang Anshar membuka pintu rumah mereka untuk Muhajirin. Mereka tidak hanya berbagi harta, tetapi juga tanah dan kebun.

Inilah bentuk sedekah sosial yang tidak tertulis dalam angka, tetapi nyata dalam pengorbanan. Al-Qur’an mengabadikan mereka: “Mereka mengutamakan orang lain atas diri mereka, meskipun mereka sendiri membutuhkan.” (QS Al-Hasyr: 9).

Magnet Rezeki dan Hikmah

Ada pepatah bijak: “Apa yang kau simpan akan hilang, apa yang kau makan akan habis, tapi apa yang kau sedekahkan akan abadi.”
Nabi ﷺ bersabda: “Sedekah tidak akan mengurangi harta.” (HR. Muslim). Ini paradoks ilahi: yang diberikan justru membuka pintu-pintu baru. Di masa kini orang menyebutnya sebagai “magnet rezeki.”

Mengapa demikian? Karena sedekah menumbuhkan kepercayaan sosial. Orang dermawan mudah dipercaya, diberi peluang, dihormati, dan dibantu. Dari segi psikologis, memberi juga menumbuhkan optimisme dan menghalau rasa takut miskin.

Sedekah dan Kesalehan Sosial

Di era modern, lapangan sedekah amat luas. Ia bukan hanya memasukkan uang ke kotak amal, tetapi meliputi seluruh bentuk kesalehan sosial.

– Menuntut ilmu dan mengajarkannya adalah sedekah.

– Menjaga lingkungan, menanam pohon, mengurangi polusi udara, air, dan tanah adalah  sedekah.

– Menjaga ketertiban lalu lintas dan disiplin sosial adalah sedekah.

– Donor darah, menjaga kesehatan, dan kampanye kebersihan adalah sedekah.

– Menjaga aset umum dan fasilitas publik adalah sedekah.

– Menyebarkan informasi yang benar dan melawan hoaks di dunia digital adalah sedekah.

– Menghormati tetangga, menolong orang lain, bahkan sekadar senyum—semua adalah sedekah.

Inilah wajah baru sedekah: kesalehan sosial. Dengan itu, sedekah menjadi ekosistem kebaikan yang menata masyarakat lebih adil, sehat, dan manusiawi.

Sedekah di Zaman Modern – Filantropi dan Digitalisasi

Di era modern, sedekah berkembang dalam wajah baru. Ada lembaga zakat resmi, yayasan sosial, crowdfunding, hingga aplikasi digital yang memudahkan orang memberi hanya dengan sentuhan jari.

Namun, esensinya tetap sama: menghapus jurang sosial. Bedanya, jangkauan kini lebih luas. Sedekah tak lagi terbatas pada kampung atau masjid, tetapi bisa menjangkau lintas negara: membantu Palestina, korban bencana, atau anak-anak yang kehilangan akses pendidikan.

QS Al-Baqarah 2:261–274 mengajarkan bahwa sedekah adalah biji yang tumbuh menjadi pohon kehidupan. Ia lahir dari ikhlas, melahirkan ziyādatul khair, membentuk kesalehan sosial, dan membangun peradaban kasih sayang. Sedekah adalah denyut hidup: bukan soal berapa banyak yang kita simpan, tapi berapa banyak yang kita lepaskan demi kebaikan bersama.

“Berbagi kebahagian kepada orang lain”, adalah expresi rasa syukur dan kasih sayang kita yang aktual dalam kehidupan modern ini. Siapa yang menyayangi mahluk di bumi, maka akan disayangi oleh mahluk di langit. Sedekah membuka pintu ampunan dan rahmat Allah SWT. (*)

Pondok Kelapa, 3 Oktober 2025

*) Pengantar Diskusi Jumatan di Masjid Baitul Muhajirin ba’da Sholat Jumat 3-10-2025