Ikuti Sayembara Menulis Novel Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) 2025. Ketentuan dan Syarat #sayembaranoveldkj2025 ------ Ikuti Sayembara Menulis Novel Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) 2025. Ketentuan dan Syarat #sayembaranoveldkj2025 ------ Ikuti Sayembara Menulis Novel Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) 2025. Ketentuan dan Syarat #sayembaranoveldkj2025 ------ Ikuti Sayembara Menulis Novel Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) 2025. Ketentuan dan Syarat #sayembaranoveldkj2025 ------ Ikuti Sayembara Menulis Novel Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) 2025. Ketentuan dan Syarat #sayembaranoveldkj2025

Takbiran: Runtuhkan Ego, Agungkan Ilahi

June 6, 2025 06:07
IMG_20250606_060527

Oleh: Drs. H. Makmur, M. Ag
Kepala Kankemenag Bandarlampung

Refleksi Hari Raya Iduladha 1446 H


HATIPENA.COM – Takbiran merupakan salah satu amalan sunah yang sangat dianjurkan dalam rangkaian ibadah Hari Raya Iduladha. Seruan takbir dikumandangkan sejak malam hari raya hingga berakhirnya hari-hari tasyrik, baik oleh jamaah haji di Tanah Suci maupun oleh umat Islam di seluruh penjuru dunia.

Takbir bukan sekadar ritual atau tradisi turun-temurun, melainkan sebuah bentuk nyata pengagungan kepada Allah SWT, sekaligus ekspresi syukur yang mendalam atas segala nikmat-Nya, khususnya bagi mereka yang telah menunaikan ibadah haji.

Takbir memuat makna spiritual yang agung. Ketika seorang Muslim melafalkan: “Allahu Akbar, Allahu Akbar, Allahu Akbar, La ilaha illallah, Wallahu Akbar, Allahu Akbar wa lillahil hamd,” sesungguhnya ia sedang menyatakan bahwa tidak ada yang lebih agung daripada Allah: bukan kekuasaan, bukan harta, bukan jabatan, bahkan bukan egonya sendiri.

Takbir adalah deklarasi tauhid yang membumi—sebuah seruan yang meruntuhkan kesombongan dan membesarkan keesaan Tuhan. Maka, takbiran sejatinya adalah momen untuk meniadakan ego dan meneguhkan tauhid dalam sanubari.

Lebih dari itu, takbir juga memiliki dimensi sosial yang kuat. Ia menghidupkan semangat kebersamaan, mempererat ukhuwah Islamiyah, serta membangun silaturahmi dan persaudaraan.

Takbir yang dikumandangkan secara bersama-sama menghadirkan getaran ruhani dan ikatan hati, menyatukan umat Islam dalam satu suara: mengagungkan Allah dan menolak segala bentuk kezaliman, kesombongan, serta permusuhan.

Spirit sosial ini sejalan dengan sabda Rasulullah SAW ketika beliau ditanya, “Amalan apakah yang paling baik dalam Islam?” Beliau menjawab, “Memberi makan (orang lain), dan mengucapkan salam kepada orang yang kamu kenal maupun yang belum kamu kenal.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Hadis ini menunjukkan bahwa inti ajaran Islam tidak hanya bertumpu pada ibadah ritual yang bersifat vertikal (hablum minallah), tetapi juga menekankan pentingnya aspek horizontal (hablum minannas): membangun kasih sayang, solidaritas, dan kedamaian sosial.

Salam dan berbagi makanan menjadi simbol dari dua nilai utama: menyebarkan perdamaian dan menumbuhkan kepedulian. Maka, semangat takbir seharusnya mendorong kita untuk aktif menebar salam—yakni kedamaian, kebaikan, dan kasih Tuhan kepada sesama manusia, tanpa diskriminasi.

Takbir juga mengingatkan kita pada kisah agung Nabi Ibrahim AS dan putranya, Nabi Ismail AS. Keduanya menjadi teladan dalam hal ketaatan, keikhlasan, dan pengorbanan. Ketika Ibrahim diperintahkan untuk menyembelih Ismail, keduanya menyerahkan diri sepenuhnya kepada kehendak Allah.

Dari kisah ini, lahirlah makna kurban: bahwa cinta kepada Allah harus melampaui cinta kepada apa pun—termasuk anak, harta, bahkan diri sendiri. Takbir menjadi gema spiritual dari kisah tersebut: bahwa setiap insan harus rela “menyembelih” egonya demi pengabdian kepada Allah dan demi kemaslahatan umat.

Menariknya, dalam Islam, takbir bukan hanya bagian dari perayaan hari raya. Ia adalah pembuka dari setiap salat—ibadah yang menjadi puncak kedekatan seorang hamba dengan Tuhannya. Salat dimulai dengan takbiratul ihram dan ditutup dengan salam.

Ini memberikan pesan yang dalam: ketika seorang Muslim benar-benar mengagungkan Allah (takbir), maka ia pun harus mampu menyebarkan sifat-sifat Allah—seperti kedamaian dan kasih sayang (salam)—kepada sesama. Maka, orang yang benar dalam takbirnya tidak akan mencaci, menghina, apalagi memfitnah. Ia tidak akan menyimpan dendam, melainkan memaafkan, sebagaimana Allah Maha Pemaaf.

Demikian pula dalam ibadah haji, puncaknya adalah wukuf di Arafah. Allah SWT berfirman:
“Maka tidak boleh rafats (ucapan kotor), tidak boleh berbuat fasik, dan tidak boleh berbantah-bantahan selama haji.” (QS. Al-Baqarah: 197)

Rafats bermakna ucapan kotor atau vulgar. Fusuq adalah segala bentuk kemaksiatan dan pelanggaran terhadap perintah Allah. Jidal berarti debat kusir atau perdebatan yang menjatuhkan martabat orang lain.

Ketiga hal ini menjadi penghalang kemabruran haji. Ibadah haji mungkin sah secara syariat, tetapi bisa kehilangan nilainya bila perilaku buruk tetap dipelihara. Ini mengajarkan bahwa esensi ibadah bukan semata soal ritus, tetapi juga akhlak dan laku hidup.

Demikian pula, takbir sejatinya adalah penyucian jiwa, bukan alat pembenar untuk memecah belah, menebar kebencian, atau mengklaim kebenaran secara arogan dan egoistik.

Bagi kita yang berkurban dan membagikan dagingnya kepada yang membutuhkan, sejatinya kita sedang meneladani sifat Allah yang Maha Pengasih dan Penyayang. Kita sedang menebar rahmat, memperkuat solidaritas, dan mempererat tali kasih dalam masyarakat.

Maka mari kita bertakbir: Untuk menebarkan salam, bukan menebar kebencian. Untuk menebarkan kebaikan, bukan menyebar keburukan. Untuk melepaskan keegoan yang tersimpan dalam hati.

Dengan takbir kita buang sifat-sifat setan seperti dendam, sombong, kikir, korupsi, dan kedengkian. Dengan takbir kita bangun persaudaraan, perkuat persatuan, dan rawat harmoni sosial.

Takbir adalah nyala tauhid yang tidak boleh padam dalam kehidupan seorang Muslim. Ia harus terus digaungkan, tidak hanya di Hari Raya, tetapi dalam seluruh aspek kehidupan.

Takbir adalah deklarasi bahwa hanya Allah yang Mahabesar, sementara manusia adalah hamba yang seharusnya rendah hati, penuh kasih, dan siap berkorban demi kebaikan bersama. (*)

Allahu Akbar, walillahil hamd!