Ichwan Adji Wibowo, S.Pt, MM *)
HATIPENA.COM – Islam sebagai sebuah agama, mula-mula menghendaki dan menuntut terwujudnya kehidupan yang damai, yang menyelaraskan, yang menentramkan, yang mensejahterakan.
Ia memberi dan menyediakan seperangkat aturan, petunjuk dan rambu sekaligus spirit agar harmoni kehidupan terus berkembang dan tetap tumbuh di tengah keniscayaan bahwa Allah sendiri menciptakan jagat raya yang nyatanya amat beragam, tak ada yang seragam, berbeda, berupa-rupa, tak sama, plural dan ini sungguh realitas kehidupan yang tak terelakkan.
Selanjutnya sejarah mencatat betapa disharmoni (pertikaian) itu sendiri diawali dari pergulatan dan perebutan atas pemaknaan, tafsir, dan pemahaman terhadap hakekat kebenaran yang bersumber dari teks kitab suci yang sama, dialektika ini berlangsung terus-menerus, dan tak berkesudahan.
Maka sampai hari ini muncul beragam aliran, mazhab, pemikiran, paham, pendapat yang terkadang saling menegasikan dan saling bertentangan satu sama lain. Sekali lagi, menjadi muskil mengabaikan keniscayaan tersebut.
Lantas bagaimana cara menghindarkan diri dari kemungkinan melahirkan disharmoni bahkan konflik di tengah realitas yang beragam tersebut. Tiada lain harus tersedia sebuah cara, model, metode, paradigma, prinsip agar mampu menyediakan formula yang tepat dan selalu mengupayakan terselamatkannya agama dari citra sumber disharmoni dan petaka kedamaian.
Pada tataran itulah Aswaja (ahlu sunah waljamaah) an nahdliyah ditempatkan sebagai manhaj, manhajul fikr, metode berfikir, bersikap dan bertindak. Dalam soal kemasyarakatan. Misalnya, aswaja menyediakan berbagai prinsip yang dikembangkan, yakni tawasuth (moderat) dan itidal, tawazun (seimbang), tasamuh (toleran) dan amar maruf nahi mungkar.
Tawasuth dimaknai sebagai sikap tengah tengah, aksi atau ekpresi moderasi, upaya menjaga harmoni, agar tidak terseret pada kemungkinan lahirnya sikap mengupayakan kebenaran tapi pada saat yang sama destruktif.
Maka tawasuth itu juga harus dimaknai sebagai bagian dari ekpresi keberagamaan itu sendiri. Seorang muslim sejatinya harus menjadi role model sikap tawasuth, dalam tataran ini tawasuth juga bagian dari karakter. Pada akhirnya peradaban dibangun dari karakter kolektif sebuah kaum, negeri, atau bangsa, bahkan umat manusia.
Persis seperti Allah SWT sendiri yang menghendaki umatnya sebagai umat washatiyah, seperti di sebut ya dalam Alquran.
“Dan demikianlah kami jadikan kamu sekalian (umat Islam) umat pertengahan (adil dan pilihan) agar kamu menjadi saksi (ukuran penilaian) atas (sikap dan perbuatan) manusia umumnya dan supaya Allah SWT menjadi saksi (ukuran penilaian) atas (sikap dan perbuatan) kamu sekalian. (QS Al baqarah 143).
Ayat ini menjelaskan bahwa umat Islam yang dikehendaki Tuhan, adalah ummatan wasathan, umat atau masyarakat yang memiliki kemampuan mengembangkan prinsip keseimbangan, di tengah ketidakseragaman dalam seluruh kontek kehidupan.
Mustahil peradaban ini menjadi baik dan akan terus berlangsung jika tidak dipimpin oleh sikap tawasuth.
Sebuah sikap yang menawarkan solusi untuk selalu menarik kembali adanya sikap yang terlalu berlebih lebihan, terlalu ekstrem. Singkat kata moderasi ini juga memastikan agar tujuan mengharmonisasi kehidupan selalu menemukan jalannya. Ini menjadi semacam proposal jalan damai, demi masa depan peradaban.
Bayangkan jika kehidupan dan ekspresi keberagamaan kita tak menyediakan prinsip-prinsip tersebut. Wallohu’alam bishawab. (*)
*) Ketua PCNU Kota Bandar Lampung