HATIPENA.COM adalah portal sastra dan media untuk pengembangan literasi. Silakan kirim karya Anda ke Redaksi melalui pesan whatsapp ke 0812 1712 6600 ------ HATIPENA.COM adalah portal sastra dan media untuk pengembangan literasi. Silakan kirim karya Anda ke Redaksi melalui pesan whatsapp ke 0812 1712 6600 ------ HATIPENA.COM adalah portal sastra dan media untuk pengembangan literasi. Silakan kirim karya Anda ke Redaksi melalui pesan whatsapp ke 0812 1712 6600 ------ HATIPENA.COM adalah portal sastra dan media untuk pengembangan literasi. Silakan kirim karya Anda ke Redaksi melalui pesan whatsapp ke 0812 1712 6600 ------ HATIPENA.COM adalah portal sastra dan media untuk pengembangan literasi. Silakan kirim karya Anda ke Redaksi melalui pesan whatsapp ke 0812 1712 6600

Tawasuthiyah dan Spiritualitas Harmoni Keberagamaan

November 1, 2025 04:42
IMG_20251101_043758

Ichwan Adji Wibowo | Penulis
Ketua PCNU Bandar Lampung

HATIPENA.COM – ISLAM sebagai sebuah agama, mula-mula menghendaki dan menuntut terwujudnya kehidupan yang damai, yang menyelaraskan, yang menentramkan, yang mensejahterakan. Ia memberi dan menyediakan seperangkat aturan, petunjuk dan rambu sekaligus spirit agar harmoni kehidupan terus berkembang dan tetap tumbuh di tengah keniscayaan bahwa Allah sendiri menciptakan jagat raya yang nyatanya amat beragam, tak ada yang seragam, berbeda, berupa-rupa, tak sama, plural dan ini sungguh realitas kehidupan yang tak terelakkan.

Selanjutnya sejarah mencatat betapa disharmoni (pertikaian) itu sendiri diawali dari pergulatan dan perebutan atas pemaknaan, tafsir, dan pemahaman terhadap hakekat kebenaran yang bersumber dari teks kitab suci yang sama, dialektika ini berlangsung terus menerus, dan tak berkesudahan. Maka sampai hari ini muncul beragam aliran, mazhab, pemikiran, paham, pendapat yang terkadang saling menegasikan dan saling bertentangan satu sama lain. Sekali lagi, menjadi muskil mengabaikan keniscayaan tersebut.

Lantas bagaimana cara menghindarkan diri dari kemungkinan melahirkan disharmoni bahkan konflik di tengah realitas yang beragam tersebut. Tiada lain harus tersedia sebuah cara, model, metode, paradigma, prinsip agar mampu menyediakan formula yang tepat dan selalu mengupayakan terselamatkannya agama dari citra sumber disharmoni dan petaka kedamaian.

Pada tataran itulah Aswaja (ahlu sunah waljamaah) an nahdliyah ditempatkan sebagai manhaj, manhajul fikr, metode berfikir, bersikap dan bertindak. Dalam soal kemasyarakatan, Misalnya, aswaja menyediakan berbagai prinsip yang dikembangkan, yakni tawasuth (moderat) dan itidal, tawazun (seimbang), tasamuh (toleran) dan amar maruf nahi mungkar.

Tawasuth, sikap tengah tengah, aksi moderasi, upaya menjaga harmoni, agar tidak terseret pada kemungkinan lahirnya sikap merasa memiliki kebenaran tunggal. Sikap klaim kebenaran secara sepihak, sikap ketika merasa sedang mengupayakan kebenaran tapi pada saat yang sama mempertontonkan sikap destruktif, perasaan bahwa ketika merasa menggenggam kebenaran maka pihak lain berarti salah dan tidak benar.

Menghindarkan perilaku dan sikap tersebut perlu dihadirkan sebuah sikap yang menawarkan solusi untuk menarik dan menyadarkan kembali bahwa serba sikap yang terlalu berlebih lebihan, terlalu ekstrim, pasti akan membawa dan melahirkan disharmoni, keadaan yang justru bertentangan dengan tujuan dihadirkannya agama.

Singkat kata moderasi ini juga memastikan agar tujuan mengharmonisasi kehidupan selalu menemukan jalannya. Ini menjadi semacam proposal jalan damai, demi masa depan peradaban. Bayangkan jika kehidupan dan ekspresi keberagamaan kita tak menyediakan prinsip prinsip tersebut. Wallohu’alam..(*)