Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600 ------ Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600 ------ Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600 ------ Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600 ------ Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600

Tenget, Sampah dan Kesadaran Kolektif

March 7, 2025 11:12
IMG-20250307-WA0058

Ilustrasi : Meta AI/ Rizal Pandiya
Catatan Paradoks; Wayan Suyadnya

HATIPENA.COM – Bali gumi tenget, sakral, suci, bersih, sekaligus seram. Tak hanya pura yang suci, tetapi hutan, sawah, pantai, gunung, sungai, seluruh alam Bali adalah suci.

Itulah sebabnya tak boleh kencing di sungai, tak boleh buang air di parit, tak boleh berbuat mesum di sawah, kebun, atau pantai.

Alam Bali bukan tempat liar, karena manusia bukan binatang. Jika ada yang berbuat nista di tempat terbuka, tempat itu menjadi leteh, kotor secara niskala. Aib secara sekala, dunia nyata.

Maka, diadakanlah upacara penyucian. Sawah yang ternoda harus “dibersihkan”. Pantai yang dilecehkan harus disucikan kembali. Jurang, hutan, hingga mata air, semua harus dikembalikan ke kemurniannya.

Orang Bali paham, menjaga alam seluas ini tidak mudah. Maka dibuatlah batas-batas, sekat-sekat sebagaimana kabupaten dan kota, kecamatan, desa, banjar, lingkungan, hingga pekarangan-pekarangan rumah.

Lihatlah pekarangan pada tiap rumah orang Bali—dibatasi tembok penyengker. Dalam batas itu, kesucian dijaga. Rumah bukan sekadar tempat tinggal, melainkan tempat suci bagi penghuninya.

Dapur pun suci, karena di sanalah makanan untuk sesajen dipersiapkan. Jika dapur leteh, makanan tak bisa dijadikan persembahan. Tak hanya dapurnya, alat yang dipakai untuk masak-memasak juga tak boleh leteh.

Ember yang biasa dipakai mencuci pakaian tak boleh dipakai mencuci piring. Semua tak boleh leteh, karena dari dapur suci itu dibuat banten saiban, persembahan keseharian bagi Ida Hyang Widhi.

Memasak di dapur itu mempersiapkan banten, sisanya (walau lebih banyak) baru boleh dinikmati.

Kesucian benar-benar harus dijaga. Jika ada pasangan kawin sebelum widhi widana, pekarangan menjadi leteh. Jika ada kematian, pekarangan juga ternoda.

Maka, dilakukanlah upacara penyucian agar kesucian kembali. Begitulah Bali menjaga adatnya, menjaga tenget-nya.

Karena tenget, pura di tengah hutan tetap aman meski tanpa satpam. Tak ada yang berani mengusik, meski isinya penuh dengan barang berharga yang tak ternilai.

Siapa yang menjaga? Tenget itulah penjaganya. Mata air, pohon besar, batu besar, dan hutan-hutan lebat, semua dijaga oleh tenget.

Orang yang masuk ke hutan, bahkan untuk sekadar buang air kecil, sering berbisik: “Siapa di sini? Izin saya kebelet pipis.” Mereka takut, karena masyarakat Bali tahu, ada yang menjaga tempat itu.

Namun, lihatlah bagaimana sekarang? Di sinilah paradoksnya. Tenget makin terkikis. Sampah plastik, kertas sisa makan berserakan di sungai, di jalanan, di pantai.

Orang tak lagi takut membuang kotoran di aliran suci. Ada berita mesum di sawah, ada juga mesum di pantai. Di kota-kota, tata letak bangunan tak menggunakan kosala-kosali, pekarangan ada yang tak berpenyengker, tak ada batas jelas antara rumah dan jalan, antara kesucian dan kekotoran.

Lalu, apa yang bisa dilakukan agar Bali kembali tenget? Secara niskala, sudah saatnya dipikirkan upacara penyucian berskala Bali. Secara sekala, perlu kesadaran kolektif yang terus harus dibangun.

Semua orang Bali harus sadar pentingnya menjaga lingkungan. Jangan membuang sampah sembarangan. Jangan menimbulkan sampah sosial yang membuat Bali leteh.

Soal sampah sudah ada Pergub No. 97 tahun 2018 soal timbulan sampah plastik. Juga ada Pergun 47 tahun 2019 pengelolaan sampah berbasis sumber dan banyak lagi aturan pelaksanaan yang mengharuskan kita eling dalam menjaga lingkungan Bali, agat tenget tak menjauh.

Hanya dengan kesadaran kolektif, Bali bisa kembali menjadi tanah para dewata. Tenget harus dijaga. Jika tidak, Bali akan kehilangan jiwanya.(*)

Denpasar, 7 Maret 2025

Berita Terkait