Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600 ------ Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600 ------ Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600 ------ Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600 ------ Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600

Unio Indonesia Rumah Bersama Imam Diosesan

February 12, 2025 18:56
IMG-20250212-WA0080

Penulis : Yudel Neno – Pr – Imam Projo*)

HATIPENA.COM – Konsili Vatikan II telah membawa pembaruan besar dalam Gereja Katolik, menggesernya dari model yang cenderung berorientasi pada ritus, birokrasi hierarkis, dan struktur konvensional menuju Gereja yang lebih profetis, kolegial, dan berbasis komunitas. Pembaruan ini menuntut keterlibatan semua pihak, termasuk kaum tertahbis, khususnya para Imam Diosesan atau Imam Projo, yang tidak hanya berperan sebagai pemimpin sakramental tetapi juga sebagai rekan seperjalanan umat dalam kehidupan menggereja dan bermasyarakat.

Tulisan ini bertujuan untuk mengeksplorasi inspirasi yang mendalam bagi para Imam Projo agar tidak berkiprah dalam semangat single fighter, melainkan dalam spiritualitas sinodalitas. Spiritualitas ini menekankan keterlibatan bersama dalam kehidupan Gereja yang lebih profetis, partisipatif, dan berorientasi pada komunitas basis. Refleksi ini berlandaskan pada Dokumen Konsili Vatikan II serta inspirasi yang diperoleh dari Statuta Unio Indonesia, sebagaimana terdapat dalam Buku Bunga Rampai Unio Indonesia Rumah Bersama Imam Diosesan (Editor: Ferry Sutrisna Wijaya, Penerbit Obor, Jakarta, Oktober 2024, hlm. 260-276).

Gereja yang Lebih Profetis: Dari Ritus ke Nubuat

Salah satu transformasi fundamental dalam Gereja pasca-Konsili Vatikan II adalah pergeseran dari penekanan yang berlebihan pada ritus dan seremonial menuju Gereja yang lebih profetis. Profetisme Gereja tidak hanya diartikan sebagai pewartaan nubuat dalam arti sempit, tetapi juga sebagai keterlibatan aktif dalam membaca tanda-tanda zaman dan memberikan kesaksian profetis dalam realitas dunia.

Dasar Teologis

Dokumen Lumen Gentium menegaskan bahwa Gereja tidak hanya bertugas melaksanakan perayaan sakramental, tetapi juga dipanggil untuk menjadi terang bagi dunia. Sebagaimana dinyatakan, “Gereja, dalam Kristus, adalah semacam sakramen, yaitu tanda dan sarana persatuan yang erat dengan Allah serta kesatuan seluruh umat manusia” (Lumen Gentium, 1). Gereja dipanggil untuk menjadi tanda kehadiran Allah di dunia, bukan hanya melalui ritus-ritus liturgis, tetapi juga dengan keterlibatan nyata dalam kehidupan umat.

Selain itu, Lumen Gentium juga menegaskan bahwa “Kaum awam juga secara khusus mengambil bagian dalam tugas kenabian Kristus dengan mewartakan Injil dalam kehidupan sehari-hari” (Lumen Gentium, 35), yang menunjukkan bahwa dimensi profetis Gereja mencakup seluruh umat Allah dalam perutusannya untuk mewartakan kebenaran dan keadilan.

Bagi para Imam Projo yang tergabung dalam Unio, panggilan untuk menjadi profetis bukan hanya sekadar melaksanakan ritus, tetapi juga hadir dalam realitas umat sebagai gembala yang membaca tanda-tanda zaman. Hal ini mengajak para imam untuk lebih responsif terhadap persoalan sosial, budaya, dan pastoral yang berkembang di tengah masyarakat. Dengan demikian, imam tidak hanya berperan sebagai pelayan sakramen, tetapi juga sebagai nabi zaman ini yang membawa suara Injil dalam berbagai aspek kehidupan umat.

Kepemimpinan Gereja: Dari Birokrasi Hierarkis Menuju Kolegialitas dan Partisipasi

Kepemimpinan Gereja yang cenderung hierarkis-piramidal dalam banyak hal telah bergeser menuju model kepemimpinan yang lebih kolegial dan partisipatif. Konsili Vatikan II menegaskan bahwa Gereja bukan hanya milik hierarki, tetapi seluruh umat Allah memiliki peran dalam menjalankan misi Kristus.

Dasar Teologis

Dokumen Christus Dominus menekankan pentingnya kolegialitas dalam kepemimpinan Gereja, di mana para uskup, sebagai penerus para rasul, tidak menjalankan tugasnya secara individual, tetapi dalam persekutuan dengan Paus dan sesama uskup.Sebagaimana dinyatakan, “Para uskup, sebagai penerus para rasul, secara bersama-sama dan dalam persekutuan dengan Paus, memiliki otoritas tertinggi dalam Gereja” (Christus Dominus, 4).

Kepemimpinan dalam Gereja bukan hanya bersifat hierarkis tetapi juga bersifat kolegial, melibatkan kerja sama dalam mendukung misi pastoral. Oleh karena itu, peran imam juga tidak berdiri sendiri, melainkan harus berada dalam koordinasi dan kerja sama dengan uskup serta sesama imam. Dokumen ini juga menegaskan bahwa “Dewan imam hendaknya ada di setiap keuskupan untuk membantu uskup dalam kepemimpinan pastoral” (Christus Dominus, 27), yang menunjukkan bahwa keterlibatan kolektif dalam kepemimpinan adalah prinsip mendasar dalam Gereja.

Dalam konteks Unio Imam Projo, kolegialitas ini menantang para imam untuk tidak berjalan sendiri dalam semangat single fighter, tetapi semakin menyadari pentingnya persekutuan dalam komunitas presbiteral dan membangun jejaring pastoral yang lebih luas. Para imam dipanggil untuk hidup dalam semangat kebersamaan, berbagi visi dan tanggung jawab dalam pelayanan, serta mendukung satu sama lain dalam tugas pastoral. Hal ini sejalan dengan semangat sinodalitas yang ditekankan oleh Paus Fransiskus, di mana kepemimpinan Gereja bukanlah soal otoritas individual, tetapi partisipasi bersama seluruh umat Allah dalam mewujudkan Gereja yang lebih kolaboratif, inklusif, dan berbasis komunitas.

Gereja yang Lebih Hidup: Dari Struktur Konvensional Menuju Organisme yang Berbasis Komunitas

Gereja yang hanya berpegang pada aturan-aturan konvensional tanpa dinamika kehidupan iman yang nyata akan kehilangan daya hidupnya. Konsili Vatikan II menekankan bahwa Gereja bukan sekadar lembaga, tetapi suatu organisme yang hidup dan terus bertumbuh dalam jejaring komunitas.

Dasar Teologis

Dokumen Apostolicam Actuositatem menegaskan bahwa Gereja adalah komunitas yang hidup, di mana seluruh umat beriman, termasuk kaum awam, memiliki peran aktif dalam membangun kehidupan menggereja. Sebagaimana dinyatakan, “Rasul-rasul awam tidak hanya membantu hierarki, tetapi mereka sungguh dipanggil untuk membangun Gereja melalui kehadiran mereka di tengah dunia” (Apostolicam Actuositatem, 2). Gereja bukan hanya institusi yang menjalankan aturan dan perayaan sakramental, tetapi juga realitas yang dinamis dan terus berkembang dalam interaksi dengan dunia. Keberadaan Gereja harus terasa nyata di tengah masyarakat, sebagaimana ditegaskan dalam Apostolicam Actuositatem, “Gereja harus hadir di tengah dunia dengan wajah yang nyata, melalui komunitas basis dan gerakan kerasulan yang hidup” (Apostolicam Actuositatem, 9).

Spirit komunitas ini menjadi inti dari dinamika Unio Imam Projo, yang menekankan pentingnya kebersamaan dalam pelayanan dan bukan sekadar memenuhi kewajiban ritual. Para Imam Projo dipanggil untuk membangun hubungan yang lebih erat dengan umat, bergerak bersama dalam semangat sinodalitas, dan tidak hanya terjebak dalam birokrasi gerejawi. Gereja tidak boleh hanya menjadi struktur administratif yang statis, tetapi harus berkembang sebagai jaringan komunitas yang hidup, yang mampu memberi daya bagi umat, menumbuhkan solidaritas, dan menjadi tanda kehadiran Kristus di tengah dunia.

Kesimpulan: Inspirasi untuk Unio Imam Projo dalam Spiritualitas Sinodalitas

Ketiga poin refleksi ini menggambarkan arah perkembangan Gereja yang lebih profetis, kolegial, dan berbasis komunitas, sebagaimana ditekankan dalam Konsili Vatikan II. Bagi para Imam Projo yang tergabung dalam Unio, refleksi ini mengajak mereka untuk meninggalkan semangat single fighter dan semakin hidup dalam spiritualitas sinodalitas.

Sinodalitas bukan hanya sekadar konsep, tetapi sebuah cara hidup bersama sebagai komunitas imam yang saling mendukung, berbagi beban pelayanan, dan bersama-sama membangun Gereja yang lebih dekat dengan umat. Dengan demikian, para Imam Projo tidak hanya menjadi pemimpin yang melayani, tetapi juga rekan seperjalanan bagi umat dalam mewujudkan Gereja yang lebih hidup dan relevan dengan tanda-tanda zaman.

Dengan menghidupi spiritualitas sinodalitas ini, para Imam Projo akan makin setia pada panggilan imamatnya, bukan hanya sebagai individu yang menjalankan tugas sakramental, tetapi juga sebagai bagian dari tubuh Gereja yang bergerak bersama dalam misi Kristus. Inilah panggilan utama para imam dalam konteks Gereja masa kini: menjadi gembala yang berbau domba, hadir di tengah umat, dan membangun Gereja yang lebih hidup, lebih inklusif, dan lebih responsif terhadap tantangan zaman. (*)

*) Keuskupan Atambua