Episode Musim Haji 1446 H
Drs. H. Makmur, M.Ag
Kepala Kankemenag Bandarlampung
HATIPENA.COM – Puncak ibadah haji adalah wukuf di Arafah. Ini menunjukkan bahwa siapa saja yang tidak hadir di Arafah pada waktu yang telah ditentukan, maka hajinya tidak sah. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Al-ḥajju ‘Arafah.” Artinya: “Haji itu [intinya] adalah wukuf di Arafah.” (HR. Tirmidzi, Abu Dawud, dan lainnya).
Hadis ini menegaskan betapa pentingnya momen wukuf di Arafah sebagai inti dari ibadah haji. Tanpa kehadiran di Arafah pada tanggal 9 Dzulhijjah, rukun haji belum terpenuhi. Meskipun seluruh rangkaian ibadah lainnya telah dilakukan, tanpa wukuf, ibadah haji tidak sah.
Dengan demikian, wukuf di Arafah merupakan rukun haji yang paling utama. Ia tidak dapat digantikan, tidak bisa diqadha. Tanpa pelaksanaan wukuf, seseorang belum dapat dianggap telah menunaikan ibadah haji.
Secara bahasa, wukuf berasal dari kata waqafa–yaqifu–wuqūfan yang berarti berhenti, berdiri, atau berdiam di suatu tempat. Secara istilah, wukuf adalah berdiam diri di Padang Arafah, walaupun hanya sesaat, pada waktu yang telah ditentukan—sejak tergelincir matahari tanggal 9 Dzulhijjah hingga terbit fajar tanggal 10 Dzulhijjah—dengan memenuhi syarat-syarat tertentu sebagai bagian dari rangkaian ibadah haji.
Namun, wukuf bukan sekadar kehadiran fisik. Ia menuntut kehadiran ruhani: hati yang khusyuk, tunduk, dan penuh harap kepada Allah SWT. Di saat inilah jamaah melepaskan diri dari segala aktivitas duniawi, bermunajat, memohon ampunan, dan menggantungkan seluruh harapan hanya kepada Allah.
Inilah momentum puncak perjumpaan hamba dengan Rabb-nya dalam suasana paling agung dan penuh rahmat.
Dalam suasana wukuf, seluruh jamaah menanggalkan atribut duniawinya. Laki-laki mengenakan dua helai kain ihram berwarna putih, tanpa jahitan. Tidak ada identitas sosial, pangkat, atau gelar duniawi.
Tidak ada lagi perbedaan antara pejabat dan rakyat biasa, antara hartawan dan orang miskin, antara tokoh populer dan orang tak dikenal.
Semua berdiri dalam kesetaraan di hadapan Allah, menegaskan bahwa kemuliaan bukan ditentukan oleh status duniawi, tetapi oleh ketakwaan.
Allah SWT berfirman: “Wahai manusia! Sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, lalu Kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal. Sesungguhnya yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah adalah yang paling bertakwa.” (QS. Al-Hujurat: 13).
Rasulullah SAW juga bersabda: “Tidak ada keutamaan bagi orang Arab atas orang non-Arab, tidak pula bagi orang non-Arab atas orang Arab; tidak bagi orang berkulit merah atas yang hitam, dan tidak bagi yang hitam atas yang merah, kecuali dengan takwa.” (HR. Ahmad dan al-Bayhaqi).
Wukuf adalah momen penyadaran bahwa manusia hanyalah hamba. Semua sama-sama berdiri di hadapan Sang Khalik, menggantungkan ampunan dan rahmat-Nya. Dalam keadaan seperti ini, manusia diminta untuk melakukan introspeksi diri yang mendalam.
Di tengah padang terbuka, di bawah langit yang luas, tanpa atribut dunia, jamaah diajak merenungi hakikat dirinya: dari mana ia berasal, untuk apa ia hidup, dan ke mana ia akan kembali.
Ia berasal dari tanah, hidup untuk menyembah Allah dan menjadi khalifah di muka bumi, dan kelak akan kembali kepada-Nya untuk mempertanggungjawabkan seluruh amal perbuatannya.
Jika seseorang telah mengenal dirinya, maka ia akan sampai pada pengenalan terhadap Tuhannya. Seperti dikatakan Imam Al-Ghazali “Man ‘arafa nafsahu faqad ‘arafa Rabbah.” (“Barangsiapa mengenal dirinya, maka ia akan mengenal Tuhannya.”).
Pengenalan kepada Allah akan melahirkan sifat tawadhu’, khusyuk, dan rasa kehinaan di hadapan kebesaran-Nya. Ia tidak akan lagi sombong atau membanggakan dunia, karena sadar bahwa semua itu fana dan tak bernilai tanpa ketakwaan.
Orang yang mengenal Tuhannya akan memperbaiki akhlaknya. Ia menjadi pribadi yang lembut, sabar, tidak mudah meremehkan orang lain, dan senantiasa memperbaiki diri. Ia tahu bahwa kemuliaan sejati tidak terletak pada penampilan lahiriah, tetapi pada kebersihan hati dan ketaatan kepada Allah.
Maka, wukuf di Arafah bukan sekadar ritual fisik, melainkan perjalanan ruhani yang sangat dalam—perjalanan kembali kepada jati diri, kepada fitrah, dan kepada Allah Sang Pencipta.
Lebih dari itu, wukuf adalah miniatur Padang Mahsyar—tempat seluruh manusia akan dikumpulkan setelah kiamat untuk mempertanggungjawabkan amal perbuatannya. Keyakinan ini seharusnya membangkitkan kesadaran bahwa kehidupan dunia hanyalah sementara.
Hari pembalasan pasti akan datang, dan tidak ada yang dapat dibawa kecuali amal perbuatan. Jabatan, harta, dan kemewahan dunia akan tertinggal; yang menyertai hanyalah catatan amal.
Allah SWT berfirman: “(Yaitu) pada hari ketika harta dan anak-anak tidak berguna, kecuali orang yang menghadap Allah dengan hati yang bersih.” (QS. Asy-Syu‘ara: 88–89).
Di hari itu, tidak ada pembela. Setiap orang akan menjadi saksi atas dirinya sendiri. Semua amal akan diperlihatkan, sekecil apa pun. Firman Allah: “Bacalah kitab (catatan amal)mu! Cukuplah dirimu sendiri pada hari ini sebagai penghitung terhadapmu.” (QS. Al-Isra’: 14).
Dan dalam ayat lain: “Barang siapa yang mengerjakan kebaikan sebesar zarrah, niscaya ia akan melihat (balasannya). Dan barang siapa yang mengerjakan kejahatan sebesar zarrah, niscaya ia akan melihat (balasannya).” (QS. Az-Zalzalah: 7–8).
Maka, wukuf di Arafah bukan hanya ritual tahunan, melainkan pengingat akan Mahkamah Agung Ilahi. Ini adalah saat untuk bertobat dengan tulus, membersihkan diri, dan memperbarui niat untuk hidup dalam ketaatan.
Di Arafah, marilah kita jadikan momen wukuf sebagai waktu pertobatan yang jujur, waktu untuk membersihkan dosa-dosa, dan saat untuk merenung dalam-dalam: Sudah siapkah kita hadir di Padang Mahsyar kelak, dengan membawa jawaban amal perbuatan yang baik di hadapan Allah SWT?… Wallahu’alam (*)