iIrwan Setiawan
HATIPENA.COM – Tahun 1942 Jepang masuk ke Bukittinggi, daerah ini diberi nama “Bukittinggi Shi Yakuso”, dengan daerah pemerintahan yang lebih luas dari pada masa kekuasaan Hindia Belanda. Daerahnya mencakup Kurai Limo Jorong, Ngarai Sianok, Gadut, Kapau, Ampang Gadang, Batu Tebal, Bukit Batuah dan beberapa daerah yang sekarang masuk dalam daerah Agam.
Walikota Bukittinggi di masa kekuasaan Jepang yang terkenal adalah Kolonel Sito Ochiro. Pada saat itu Bukittinggi juga merupakan tempat kedudukan Komandemen Militer se Sumatera di mana komandonya bergelar Saiko Sikikankakka dibawah Jenderal Kabaya Shi.
Dalam bidang pemerintahan juga terjadi berbagai perubahan, walau masih tetap menggunakan format peninggalan Belanda namun diganti dengan nama Jepang seperti Distrik yang dipimpin Demang, diganti dengan Gun yang dikepalai oleh Gun Cho.
Dan hal semacam itu diberlakukan diberbagai institusi yang ada dimasa Jepang. Jepang menguasai kota Bukittinggi sejak tanggal 21 Maret 1942, empat hari setelah menjejakkan kaki di Padang, Sumatera Barat.
Jepang datang dengan semboyan “Asia untuk Asia” dengan gerakan 3 A : Nippon Cahaya Asia, Nippon Pelindung Asia, Nippon Pemimpin Asia. Sehingga pada saat itu sebagian masyarakat mendukung kedatangan mereka di Sumatera Barat, walau masih ada golongan politisi yang pro, kontra, masa bodoh dan malahan ada yang tetap pro Belanda.
Namun tak lama kemudian penilaian baik terhadap Jepang berubah total karena berbagai tindak kekerasan yang mereka lakukan, sehingga mulai muncul berbagai pertentangan-pertentangan dengan Jepang.
Pada masa pendudukan Jepang banyak rakyat Indonesia yang dipaksa menjadi romusha. Mereka dipaksa bekerja keras tanpa diberi upah dan makanan. Karena kemelaratan yang dialami para romusha di zaman Jepang maka dikenallah golongan baru yang dinamai golongan kere atau gembel.
Di Sumatera Barat, Jepang banyak mengirim romusha ke Sijunjung untuk membangun jalan lintas kereta api Logas Sijunjung sampai ke Riau. Dengan panjang lebih kurang 220 km. 6000 orang tenaga romusha menjadi korban di daerah Ngalau Cigak Nagari Silokek.
Di Bukittinggi nama Syamsuddin dan Abbas Rahman mulai terkenal. Mereka mengobarkan semangat anti Jepang karena kekejaman dan tindakan-tindakan kekerasan mereka.
Sebagai salah satu bukti sejarah kekejaman Jepang di Bukittinggi adalah dengan dibuatnya Lubang Jepang di Panorama, dekat Ngarai Sianok. Lubang persembunyian ini mungkin telah menelan korban ratusan atau ribuan orang masyarakat. Lubang Jepang dibuat atas instruksi Letjen MoritakeTanabe Panglima Divisi ke 25 Angkatan Darat Balatentara Jepang.
Lubang perlindungan tersebut, konon mampu menahan letusan bom seberat 500 kg. Pengerjaan konstruksi lubang ini dikerjakan sejak 1942 dan selesai pada awal Juni 1944 dengan kedalaman mencapai 49 meter di bawah permukaan tanah.
Untuk membangun lubang ini, Jepang mempekerjakan secara paksa orang-orang yang berasal dari Jawa, Kalimantan dan Sulawesi.
Tidak ada informasi yang jelas bahwa orang Bukittinggi terlibat dalam mengerjakan lubang ini. Hal ini diprediksi untuk menjaga kerahasiaan. Bahkan tidak pula ditemukan jumlah pasti pekerja apalagi korban pengerjaan Lubang Jepang.
Lubang ini dibangun sebagai tempat penyimpanan perbekalan dan peralatan perang tentara Jepang, dengan panjang terowongan utama yang bisa di akses sekarang mencapai 1400 m. Lubang dibuat berkelok-kelok dan memiliki lebar sekitar 2 meter.
Sejumlah ruangan khusus terdapat di terowongan ini, diantaranya adalah ruang pengintaian, ruang penyergapan, penjara, dan gudang senjata. Saat ditemukan kembali untuk pertama kali pada awal tahun 1950, pintu Lubang Jepang hanya 20 cm dengan kedalaman 64 meter.
Lalu setelah dikelola dan dibuka secara umum oleh pemerintahan Kota Bukittinggi pada tahun 1984, mulut lubang tersebut dibuat lebih nyaman untuk dilalui.
Dari tahun 1942 – 1945 ternyata Drh. Bernecker tetap bekerja di Fort de Kocksche Dieren Park namun ia bekerja sebagai pegawai Jepang.
Pemerintah Jepang tidak mengubah struktur pemerintahan yang telah dibuat oleh Belanda karena pada saat itu umumnya orang Jepang yang datang adalah para tentara yang tidak tahu mengurus bidang pemerintahan. Malahan mereka tidak membuang orang Belanda begitu saja. Bahkan sebagian dari mereka tetap dipekerjakan.
Pasca kedatangan Jepang, terjadilah kekacauan politik Bukittinggi. Hal ini berdampak buruk bagi pengelolaan kebun binatang. Jepang sama sekali tidak memperhatikan keadaan kebun binatang. Malahan saluran air dirusak bagi keperluan tentara Jepang. Pegawai dan pekerja dibiarkan, tidak diperhatikan.
Satwa-satwa ditelantarkan terkadang ada yang ditembak dan dibayonet. Sekeliling lokasi kebun binatang dibuat lobang-lobang pertahanan tentara Jepang. Terowongan yang dibuat Jepang di lereng kebun binatang Bukittinggi itu terhubung dengan lobang Jepang.
Pembuatan lobang Jepang ini adalah sebuah usaha yang dilakukan Jepang untuk membuat kota bawah tanah yang memiliki titik-titik yang menyebar disekitar pusat kota Bukittinggi.
Jadi dapat dikatakan bahwa dimasa penjajahan Jepang mendung bergayut di kebun binatang. Pegawai Jepang yang ada di kota Bukittinggi sangat kurang, hal ini dikarenakan Jepang lebih banyak mengarahkan kota ini menjadi pusat pemerintahan dan militer, sehingga tentara Jepang lebih banyak membangun bunker-bunker sebagai kubu pertahanan mereka di kota ini.
Biaya makanan satwa koleksi kebun binatang dikurangi sehingga banyak binatang yang mati dan kandang-kandang pun banyak yang kosong.
Dalam perjalanan sejarah selanjutnya, ternyata Jepang kalah dalam perang menghadapi sekutu yang berakibat pada lemahnya kekuatan Jepang di Indonesia dan Sumatera Barat. Kesempatan ini dimanfaatkan oleh pejuang Indonesia untuk mengupayakan negeri ini menjadi negara merdeka. (*)
Sumber : “Kinantan Melintas Zaman, Sejarah Kebun Binatang Bukittinggi” Egypt Van Andalas, Padang Panjang. 2023.