HATIPENA.COM adalah portal sastra dan media untuk pengembangan literasi. Silakan kirim karya Anda ke Redaksi melalui pesan whatsapp ke 0812 1712 6600 ------ HATIPENA.COM adalah portal sastra dan media untuk pengembangan literasi. Silakan kirim karya Anda ke Redaksi melalui pesan whatsapp ke 0812 1712 6600 ------ HATIPENA.COM adalah portal sastra dan media untuk pengembangan literasi. Silakan kirim karya Anda ke Redaksi melalui pesan whatsapp ke 0812 1712 6600 ------ HATIPENA.COM adalah portal sastra dan media untuk pengembangan literasi. Silakan kirim karya Anda ke Redaksi melalui pesan whatsapp ke 0812 1712 6600 ------ HATIPENA.COM adalah portal sastra dan media untuk pengembangan literasi. Silakan kirim karya Anda ke Redaksi melalui pesan whatsapp ke 0812 1712 6600

Pasar Bawah, Kisah Jenjang dan Pasar Aua Tajungkang

April 7, 2025 17:29
IMG-20250407-WA0036

Irwan Setiawan

HATIPENA.COM – Selain Pasar Atas Bukittinggi, di daerah ini juga terdapat beberapa pasar lain yang juga memiliki peran penting. Salah satunya adalah Pasar Bawah, di mana pasar ini makin berkembang setelah pemajuan Pasar Atas.

Sama halnya dengan kisah awal berkembangnya pasar di tanah Kurai, sejarah pasar bawah ini juga belum dapat diungkap dengan pasti. Namun untuk pengembangan dan penambahan fasilitas, baru terdeteksi setelah era kolonial.

Untuk menuju Pasar Bawah, dan Pasar Banto pemerintahan Hindia Belanda membangun Jenjang 40 dan Janjang Gantuang. Janjang Ampek Puluah sendiri dibangun tahun 1908 sewaktu Louis Constant Westenenk menjabat sebagai Asisten Residen Agam.

Penamaan janjang ini mengacu kepada empat puluh orang penghulu di Luhak Agam yang bermufakat untuk membangun janjang ini. Gunanya untuk memudahkan anak nagari dalam menempuh pasar-pasar yang ada di Bukittinggi pada masa itu.

Sebenarnya Janjang 40 memiliki lebih dari 40 anak tangga. Bahkan jumlah anak tangga keseluruhan dari anak tangga paling bawah sampai ke anak tangga paling atas adalah 100 anak tangga. Namun, pada bagian paling atas anak tangga yang ada berukuran lebih kecil dan curam adalah 40 anak tangga.

Pemerintah Hindia Belanda menghubungkan setiap pasar di Bukittinggi dengan jenjang (janjang) demi memudahkan mobilisasi pedagang dan pembeli. Apalagi kontur kota yang berbukit dan berlereng perlu jalur penghubung yang baik. Sehingga banyak jenjang yang dibangun di sekitar wilayah Fort de Kock.

Beberapa nama jenjang lain di sini adalah Janjang Minang, Janjang Pesanggrahan, Janjang Gudang, Janjang Inyiak Syekh Bantam, dan lain-lain.

Pembangunan fasilitas jenjang ini umumnya dilakukan dimasa kekuasaan Louis Constant Westenenk

Selain berfungsi sebagai pasar, Pasar Bawah Bukittinggi awalnya juga berfungsi sebagai terminal atau tempat mangkal bagi pedati-pedati pembawa hasil bumi dan pembawa barang dagangan ke wilayah Fort de Kock.

Hal ini jelas tergambar pada foto Pasar Bawah pada tahun 1925. Dalam foto ini kita dapat melihat bagaimana banyak pedati parkir dan tersusun di lokasi ini.

Bila kita ungkit memori tentang pedati tentu kita bisa membayangkan bagaimana kerbau atau sapi yang menarik pedati dengan roda kayu berlapis besi. Sementara rumah pedati dibuat dari kayu, serta atap dari rumbia, ijuk dan ada juga yang menggunakan seng.

Dari sudut kekinian, para pemilik pedati zaman dulu sama halnya dengan pengusaha ekspedisi atau kargo di zaman ini. Makin banyak pedati yang mereka miliki makin kaya pulalah mereka secara finansial.

Pedagang akan menyewa pedati untuk membawa barang dagangannya ke pusat kota. Namun banyak pula para pemilik pedati yang juga sekaligus pedagang. Mereka membawa barang dagangan dengan pedati menuju Pasa Bawah.

Beberapa bangunan loods di Pasa Bawah seperti loods/los maco (ikan laut), los dagiang (daging),
los karambia (kelapa), los lado (cabe), los jualan mudo (sayur-sayuran), dan beberapa loods yang lain. Rangka bangunan dari besi baja masih bertahan sampai sekarang. Pada bagian atap pun masih banyak atap peninggalan lama, walau
sekarang telah ada bangunan tambahan di pasar ini.

Dalam perkembangan berikutnya Pasar Bawah makin ramai oleh pedagang sehingga kondisi ini makin mengangkat nama Fort de Kock sebagai kota penting. Kota pusat ekonomi bagi kolonial di pedalaman Sumatera.

Guna mempermudah akses ke pasar bawah maka dibangunlah Janjang Guntuang (Jenjang Gantung). Pembangunannya dilakukan pada masa pemerintahan Controleur
Oud Agam J. Caton tahun 1932, yang menghubungkan Pasar Lereng dan Pasar Bawah serta kawasan Aur Tajungkang. Janjang Gantuang merupakan jembatan penyeberangan yang pertama di Indonesia

Payung-payung besar pedagang terkembang di setiap harinya. Deretan pedagang di sepanjang Pasar Lereng menyusun barang dagangan, dan saat makin turun ke bawah maka nampaklah Janjang Gantuang yang mengantarkan pengunjung Bukittinggi ke Pasar Bawah, di mana los-los besar tersusun memanjang dipinggir jalan pasar itu.

Demikianlah penggalan kisah sejarah dari Pasa Bawah, Janjang 40, Janjang Gantuang da Pasa Aua Tajungkang yang sampai sekarang masih bisa dikunjungi dan dinikmati. Sebagai sebuah kisah sejarah tentu hal ini harus menjadi memori kolektif yang harus diketahui warga kota dan para pedagang di sana.

Jangan sampai nanti sejarah ini hilang dan dilupakan begitu saja, dan ketika ada penikmat atau wisatawan sejarah yang datang dan bertanya kita hanya mampu menjawab “tidak tahu”. (*)

Sumber :
Buku, “Kinantan Melintas Zaman” Sejarah Kebun Binatang Bukittinggi, Egypt Van Andalas, 2023.
https://id.m.wikipedia.org/wiki/Janjang_40
https://katasumbar.com/mengenal-nama-fungsi-dan-sejarah-janjang-di-bukittinggi/