Oleh : Nasih Widya Yuwono
HATIPENA.COM – Tanggal 1 Juni selalu menjadi momentum penting bagi bangsa Indonesia. Pada hari inilah, Pancasila, dasar negara yang mengikat seluruh elemen bangsa dalam semangat persatuan dan keadilan, pertama kali diperkenalkan kepada publik oleh Bung Karno pada tahun 1945. Pancasila bukan hanya sekadar ideologi, tetapi juga semacam ekosistem nilai yang hidup di tengah masyarakat.
Ia tumbuh, berkembang, dan memberi naungan—seperti pohon rindang yang akarnya menghunjam tanah, batangnya kokoh, dan daunnya melindungi siapa saja yang berada di bawahnya. Atas dasar semangat itu, kami—yang menyebut diri sebagai Masyarakat Ficus—mengajak seluruh rakyat Indonesia untuk merayakan kelahiran Pancasila dengan cara yang simbolis sekaligus ekologis: menanam pohon Ficus.
Ficus, atau dalam bahasa sehari-hari dikenal sebagai beringin dan sanak keluarganya, bukanlah pohon sembarangan. Dalam dunia botani, Ficus adalah genus dari famili Moraceae yang mencakup lebih dari 800 spesies, mulai dari Ficus benjamina, Ficus elastica, hingga Ficus religiosa yang sakral di berbagai budaya.
Beringin sendiri telah lama menjadi simbol kekuatan dan keabadian dalam berbagai mitologi Nusantara. Ia juga dipilih menjadi lambang salah satu sila Pancasila: “Persatuan Indonesia.” Maka menanam Ficus bukan sekadar menanam pohon; itu adalah tindakan menanam harapan, semangat kebersamaan, dan pengakuan akan keberagaman akar budaya bangsa.
Kami percaya bahwa dalam momen Hari Lahir Pancasila, perlu ada praktik nyata yang bisa dilakukan oleh siapa saja, tanpa memandang latar belakang sosial, ekonomi, atau geografis. Menanam Ficus bisa dilakukan di halaman rumah, di taman kota, di pekarangan sekolah, atau bahkan di pot besar di beranda kantor.
Kegiatan ini tidak memerlukan biaya besar, tidak membutuhkan teknologi canggih, dan tidak memerlukan pelatihan khusus. Namun dampaknya, baik secara ekologis maupun simbolis, sangatlah besar. Bayangkan jika di setiap RT ada satu pohon Ficus, dan setiap pohon itu dirawat bersama, diberi nama, dan menjadi titik temu warga dalam kegiatan rutin. Dalam lima tahun ke depan, kita tidak hanya menumbuhkan hutan kota, tetapi juga menumbuhkan jaringan nilai yang mengakar: gotong royong, tanggung jawab sosial, dan rasa memiliki.
Secara ilmiah, Ficus memiliki banyak keunggulan ekologis. Sebagai tanaman peneduh, daunnya lebar dan mampu menurunkan suhu mikro hingga 3–5°C di sekitarnya. Akar gantungnya berfungsi seperti spons ekologis yang menyerap air hujan dan menahan erosi. Ia juga dikenal sebagai salah satu tanaman yang efektif menyerap polutan udara, termasuk karbon monoksida dan senyawa organik volatil.
Dalam penelitian yang dilakukan oleh beberapa ahli hortikultura, Ficus benjamina misalnya, terbukti mampu menurunkan kadar formaldehida di ruang tertutup hingga 40% hanya dalam waktu seminggu. Maka jika Pancasila adalah nafas kehidupan berbangsa, maka Ficus adalah paru-paru kecil yang membantu masyarakat bernapas lebih sehat.
Lebih jauh lagi, dalam ekosistem lokal, Ficus juga merupakan keystone species, yaitu spesies kunci yang menunjang keberlangsungan banyak spesies lainnya. Buahnya yang kecil namun melimpah menjadi sumber makanan utama bagi banyak burung, kelelawar, dan serangga. Bunganya yang tidak tampak karena tersembunyi dalam buah (disebut syconium) memiliki sistem penyerbukan yang unik—hanya bisa dibantu oleh fig wasp atau lebah ara, yang memiliki hubungan simbiosis mutualistik dengan pohon Ficus. Tanpa Ficus, lebah ini akan punah; dan tanpa lebah ini, Ficus tidak akan berkembang biak.
Hubungan ini mengajarkan kita tentang makna kerja sama dan saling ketergantungan dalam keberagaman, sesuatu yang juga diajarkan dalam sila ketiga Pancasila.
Masyarakat Ficus lahir dari kesadaran sederhana namun mendalam bahwa menanam pohon bisa menjadi bentuk ibadah ekologis dan pernyataan ideologis sekaligus. Kami terdiri dari para petani, pelajar, aktivis lingkungan, guru, pensiunan, dan siapa pun yang ingin melihat Indonesia menjadi lebih hijau dan lebih bersatu.
Dalam setiap pertemuan kami, kami membaca kembali Pancasila, lalu menanam Ficus. Kadang kami menyanyikan lagu Indonesia Raya di bawah pohon yang baru ditanam. Kami menyebut kegiatan ini sebagai “Upacara Tanam Nilai.”
Mengapa Ficus dan bukan pohon lain? Tentu saja, Indonesia memiliki banyak pohon endemik yang luar biasa, mulai dari meranti, jati, hingga damar. Namun Ficus punya nilai simbolik yang kuat dalam budaya dan sejarah kita. Ia dianggap sebagai pohon yang tidak pernah membedakan, memberi teduh tanpa pilih kasih, dan mampu tumbuh di berbagai jenis tanah.
Di Jawa, pohon beringin sering dijadikan penanda tempat musyawarah atau tempat keramat. Di Bali, Ficus religiosa dihormati dan diberi kain poleng. Di Sumatra dan Kalimantan, akar gantungnya yang menjuntai dianggap sebagai penjelmaan roh leluhur. Maka ketika kita menanam Ficus, kita tidak hanya menanam flora, tetapi juga menyambung kembali narasi budaya dan spiritualitas Nusantara.
Dalam konteks perubahan iklim yang kian mengancam, menanam pohon bukan lagi sekadar wacana, tetapi keniscayaan. Indonesia menghadapi tantangan besar seperti banjir bandang, kekeringan, dan kenaikan suhu rata-rata. Pohon seperti Ficus dapat berkontribusi dalam mitigasi perubahan iklim melalui penyerapan karbon dioksida dan peningkatan kelembaban lokal.
Data dari Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) menunjukkan bahwa satu pohon Ficus benjamina dewasa dapat menyerap hingga 21 kg CO₂ per tahun. Jika satu juta orang menanam satu pohon saja, maka kita berkontribusi menyerap 21.000 ton CO₂ tiap tahunnya—angka yang tidak kecil untuk gerakan warga sipil tanpa dukungan dana besar.
Lebih dari itu, Ficus juga bisa menjadi media edukasi. Di sekolah, anak-anak bisa belajar biologi, ekologi, dan Pancasila sekaligus dari satu pohon. Di pesantren atau komunitas adat, pohon ini bisa dijadikan tempat berkumpul, berdiskusi, dan menghidupkan kembali tradisi lisan.
Di kota-kota, pohon Ficus bisa menjadi penanda ruang publik, sebagai titik orientasi yang menyejukkan di tengah beton dan aspal. Kami berharap pada masa depan, akan ada gerakan nasional bertajuk “Satu Pohon Ficus, Satu Jiwa Pancasila” yang mengintegrasikan pendidikan, ekologi, dan kebangsaan.
Hari Lahir Pancasila bukanlah milik masa lalu. Ia adalah fondasi bagi masa depan. Dalam suasana global yang makin terpecah, polarisasi politik yang makin tajam, serta tantangan ekologis yang makin kompleks, kita butuh tindakan yang bersifat mempersatukan dan menyuburkan.
Menanam Ficus adalah tindakan sederhana yang bisa dilakukan siapa pun, kapan pun, di mana pun. Ia tidak memerlukan gelar sarjana, tidak menuntut modal besar, dan tidak meminta popularitas. Tapi ia menumbuhkan sesuatu yang dalam: akar persatuan.
Kami, Masyarakat Ficus, mengajak Anda semua—para ibu rumah tangga, bapak petani, siswa, ASN, dosen, tukang ojek, pengusaha, bahkan pemimpin daerah—untuk bersama-sama menanam Ficus. Tanamlah di tempat yang Anda cintai. Beri nama pohon itu dengan nama Pancasila. Rawatlah ia dengan kasih sayang, sebagaimana kita merawat cita-cita bangsa. Jadikan ia saksi hidup bahwa Indonesia tidak menyerah, bahwa kita tetap teguh di bawah naungan nilai-nilai dasar bangsa.
Ketika nanti anak cucu kita berteduh di bawah pohon Ficus yang kita tanam hari ini, semoga mereka akan mengerti bahwa pohon itu bukan hanya pelindung dari panas dan hujan, tetapi juga simbol dari satu perjuangan panjang: perjuangan agar nilai-nilai Pancasila terus tumbuh dan menyatu dengan tanah, air, dan udara Indonesia. (*)