HATIPENA.COM adalah portal sastra dan media untuk pengembangan literasi. Silakan kirim karya Anda ke Redaksi melalui pesan whatsapp ke 0812 1712 6600 ------ HATIPENA.COM adalah portal sastra dan media untuk pengembangan literasi. Silakan kirim karya Anda ke Redaksi melalui pesan whatsapp ke 0812 1712 6600 ------ HATIPENA.COM adalah portal sastra dan media untuk pengembangan literasi. Silakan kirim karya Anda ke Redaksi melalui pesan whatsapp ke 0812 1712 6600 ------ HATIPENA.COM adalah portal sastra dan media untuk pengembangan literasi. Silakan kirim karya Anda ke Redaksi melalui pesan whatsapp ke 0812 1712 6600 ------ HATIPENA.COM adalah portal sastra dan media untuk pengembangan literasi. Silakan kirim karya Anda ke Redaksi melalui pesan whatsapp ke 0812 1712 6600

Ketika Kursi Bicara Lebih Lantang Daripada Nurani

August 15, 2025 11:48
IMG-20250815-WA0055

Oleh ReO Fiksiwan

“Bentuk kemunafikan politik yang paling berbahaya adalah mengklaim memiliki politik tanpa kemunafikan.” David Runciman (58), Political Hypocrisy: The Mask of Power, from Hobbes to Orwell and Beyond (2008).

HATIPENA.COM – Di negeri yang lantang menyuarakan demokratis, kekuasaan tak lagi menjadi amanah, melainkan panggung sandiwara.

Pejabat-pejabat kita, dari bupati Pati hingga komisaris BUMN, berlomba-lomba menunjukkan bahwa jabatan bukanlah alat pelayanan, tapi alat pembuktian ego.

Pajak dinaikkan dengan dalih pembangunan, padahal yang dibangun lebih sering adalah pagar rumah, kendaraan dinas dan ego pribadi.

Rakyat disuruh mengencangkan ikat pinggang, sementara pejabat sibuk mengukur lingkar perut sendiri.

Bupati menaikkan pajak? Tentu saja.

Karena dalam logika kekuasaan yang sudah kehilangan etika, rakyat adalah sapi perah, bukan subjek politik.

Mereka yang di atas tak lagi mendengar suara rakyat, karena telinga mereka sudah dipenuhi bisikan proyek, aroma tender dan akumulasi fee.

Kant dalam Metafisika Moral (Jerman: Grundlegung zur Metaphysik der Sitten,1785)
pernah menulis:

Handle so, dass du die Menschheit sowohl in deiner Person, als in der Person eines jeden anderen jederzeit zugleich als Zweck, niemals bloß als Mittel brauchst.”

Artinya: “Bertindaklah sedemikian rupa sehingga kamu memperlakukan kemanusiaan, baik dalam dirimu sendiri maupun dalam diri orang lain, selalu sebagai tujuan dan tidak semata-mata sebagai alat.”

Tapi para pejabat kita tampaknya lebih akrab dengan kalkulator daripada dengan etika.

Mereka lupa bahwa kekuasaan tanpa moral adalah kekosongan yang bersuara nyaring.

Lalu datanglah kisah Sylvester Matituna, komisaris BUMN yang divonis penjara karena dianggap menghina mantan Wapres Jusuf Kalla.

Vonis sudah dijatuhkan sejak 2019, tapi penjara tampaknya hanya berlaku untuk rakyat kecil.

Untuk mereka yang punya jabatan, hukum adalah permainan kata, bukan instrumen keadilan.

Nietzsche dalam Genealogi Moral (Jerman: Zur Genealogie der Moral: Eine Streitschrift,1887), menyebut bahwa moralitas para penguasa adalah moralitas tuan (Herrenmoral)—mereka menciptakan nilai sendiri, dan menyebutnya kebenaran.

Dikutip: “Die edlen Menschen empfinden sich selbst als die Wertschaffenden; sie glauben, dass sie selbst das Gute sind.”

Artinya: “Orang-orang mulia memandang diri mereka sebagai pencipta nilai; mereka percaya bahwa mereka sendiri adalah kebaikan.“

Maka jangan heran jika penghinaan dianggap lebih berbahaya daripada korupsi, dan kritik lebih mengancam daripada manipulasi anggaran.

Al-Ghazali dalam Nasihat Al-Mulk(Arab: At-Tibr al-Masbuk fi Nasihat al-Muluk,1105) mengingatkan bahwa pemimpin yang tidak adil akan membawa kehancuran, bukan hanya pada rakyat, tapi pada dirinya sendiri.

Dikutip nasihatnya: “Penguasa zalim akan hancur sebelum rakyat memberontak. Kezaliman adalah api yang membakar pelakunya lebih dahulu.”

Atau: “Bila kau duduk di singgasana, ingat singgasana neraka lebih panas. Bila kau memungut pajak, ingat hisab di Padang Mahsyar lebih ketat.”

Tapi, siapa yang membaca Ghazali di ruang-ruang kekuasaan yang makin arogan hari ini?

Mereka lebih sibuk membaca laporan keuangan dan daftar proyek strategis.

Empati adalah kata asing, dan kepekaan sosial dianggap kelemahan.

Mereka lupa bahwa suara rakyat adalah suara Tuhan—Vox Populi Vox Dei—dan bahwa kekuasaan yang menutup telinga akan dibuka paksa oleh sejarah.

Ironi terbesar adalah bahwa para pejabat ini sering tampil religius, berbicara tentang pelayanan dan pengabdian, sambil menandatangani kebijakan yang menyengsarakan.

Mereka tekun berdoa di podium, lalu memeras di meja rapat.

Mereka tersenyum di depan kamera, lalu mencabut subsidi di balik layar.

Kekuasaan telah menjadi topeng, bukan cermin. Dan rakyat hanya bisa menatap, berharap, dan kadang tertawa getir.

Mungkin sudah saatnya kita berhenti berharap pada etika kekuasaan, dan mulai menuntut akuntabilitas.

Karena jika kursi lebih penting daripada nurani, maka demokrasi kita hanyalah panggung boneka, dan para pejabat hanyalah dalang yang lupa bahwa rakyat bukan penonton, tapi pemilik panggung. (*)