Rosadi Jamani
Ketua Satupena Kalbar
HATIPENA.COM – Seorang follower saya, namanya Siti Fatimah, umur 57 tahun. Ia curhat lewat email perihal anak dan cucunya yang malang. Ia frustrasi sudah ngadu ke sana ke mari. Ia hubungi saya dengan harapan ceritanya bisa dibaca publik. Saya coba narasikan kisah sedihnya dengan gaya “aku”.
Aku hanya seorang perempuan tua yang setiap hari bangun pukul enam pagi, menyingsingkan lengan meski sendi-sendi tubuhku telah menjerit, dan kembali ke rumah pukul enam sore dengan tubuh seperti keranda yang dipikul sendiri.
Aku berusia 57 tahun. Pada usia ini, aku kira sudah pernah merasakan pahit getir hidup. Tapi ternyata Tuhan, atau barangkali sistem yang mengaku Tuhan, masih punya cara baru untuk mencabik-cabik hatiku.
Anakku… anak perempuanku… dia perempuan manis yang punya riwayat jantung. Seorang yang lemah secara medis, tapi tangguh dalam hidup. Ketika tahu dirinya hamil, ia tidak gentar. “Biarlah, Bu,” katanya padaku, “ini rezeki dari Allah.”
Kami tahu itu berisiko. Tapi kehamilan itu adalah anugerah. Jika harus pergi karena mengandung nyawa baru, ia siap. Aku pun siap. Bukankah surga itu di bawah telapak kaki ibu?
Tapi rupanya… di negeri ini, “rahim perempuan bisa disita tanpa surat, tanpa diskusi, tanpa ampun.
Kami pergi ke RSUD Dr. Soetomo Surabaya. Rumah sakit besar. Ternama. Katanya penuh dokter hebat. Penuh prosedur. Penuh aturan. Tapi kami lupa, kami orang kecil. Di hadapan sistem yang mengutamakan efisiensi dari empati, orang kecil tidak dihitung sebagai manusia.
Anakku mengalami terminasi kandungan. Anakku kehilangan bayinya. Cucu yang kami tunggu, wafat. Tapi belum cukup sampai di situ.
Tanpa izin dari kami, tanpa tanda tangan, tanpa persetujuan, tanpa sekadar menatap mata kami, mereka memutuskan untuk mensterilkan anakku.
Perempuan yang kehilangan anak, lalu bangun dari operasi dan tahu bahwa rahimnya kini hanya rongga kosong yang tak akan pernah dihuni lagi. Ia tidak bisa hamil lagi. Ia tidak bisa memberi cucu lagi. Ia… diputus dari kodratnya oleh orang-orang yang mengaku menolong.
Dan kami?
Kami tidak diberi tahu.
Aku Berlari Mencari Keadilan
Aku sudah datang ke:
- RSUD Dr. Soetomo
- Kantor Kepolisian sampai Mabes
- Kantor Gubernur Jawa Timur
- Majelis Disiplin Profesi
Setiap surat kubuat dengan uang hasil kerja banting tulang. Setiap pintu kudatangi dengan kaki renta dan harapan yang makin hari makin menyusut. Tapi tak satu pun memberi jawab.
Seolah-olah… anakku bukan korban, melainkan gangguan. Seolah-olah… kami tidak layak didengarkan karena kami bukan siapa-siapa.
Aku tidak datang untuk menuntut balas. Aku tidak ingin penjara. Aku tidak ingin uang ganti rugi. Aku hanya ingin kebenaran diakui. Aku ingin mereka yang menyentuh tubuh anakku tanpa hak mengakui kesalahan. Aku ingin cucuku, yang pergi sebelum sempat menangis pertama kali, mendapat keadilan yang tak bisa kuberi dalam bentuk kubur. Aku ingin anakku tahu, bahwa tubuhnya bukan milik negara. Bukan milik rumah sakit. Bukan milik siapa-siapa kecuali dirinya sendiri.
Aku Menulis Ini… Karena Aku Tahu Suaraku Tak Lagi Cukup
Aku menulis kepada Bang Ros. Seorang yang mungkin suaranya lebih keras dari langkahku yang pincang. Aku menulis karena aku tidak bisa lagi mengetuk pintu-pintu yang digembok oleh birokrasi dan kekuasaan.
Aku bukan pahlawan.
Aku bukan martir.
Aku hanya seorang ibu yang kehilangan segalanya, tapi tetap memohon agar anak-anak orang miskin tidak lagi dijadikan objek percobaan, atau lebih buruk: korban yang diredam.
Kepada Para Pembaca:
Jika kalian membaca ini, jangan abaikan. Jangan anggap ini cerita lain dari sudut kota. Ini adalah kenyataan. Ini adalah luka yang menganga. Ini adalah cerita tentang bagaimana sistem yang dibangun atas nama kemanusiaan bisa berubah menjadi mesin pencabut hak-hak dasar perempuan.
Hari ini anakku yang dikebiri tanpa izin.
Hari ini cucuku yang dikubur tanpa nisan.
Tapi besok… bisa jadi giliran anakmu. (*)
#camanewak