Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600 ------ Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600 ------ Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600 ------ Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600 ------ Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600

Kota Minus Adab

January 31, 2025 22:07
IMG-20250131-WA0127

Cerpen Rizal Tanjung

HATIPENA.COM – Di kota yang tak pernah tidur, dosa-dosa mengendap seperti asap rokok yang menolak menghilang. Lampu-lampu neon berkedip genit, bukan untuk memberi penerangan, tapi untuk merayu manusia agar terus tenggelam dalam gemerlap kepalsuan. Trotoar bukan lagi milik pejalan kaki, melainkan panggung bagi mereka yang ingin dipuja atau dilupa.

Di antara arus manusia yang melenggang dengan sepatu mahal, seorang pemuda bernama Teje melawan gelombang. Ia bukan bagian dari pesta, juga bukan tamu yang diundang ke panggung sandiwara kota. Bajunya kusam seperti harapan yang tak pernah dijemur matahari, sementara rokok murahan di bibirnya mengepulkan abu-abu masa depan yang tak pasti.

Teje tahu satu hal: kota ini tidak memiliki belas kasihan. Di sini, seseorang bisa hidup dengan cara merampas, atau sekarat dengan berpegang pada moral. Ia memilih yang pertama. Setiap malam, ia menjadi perantara keadilan versi jalanan—bukan hakim, bukan polisi, hanya tangan yang mengambil apa yang katanya sudah dicuri sejak awal. Orang-orang berjas dan ber parfum mahal menyebutnya kriminal, tapi bukankah mereka juga mencuri? Hanya saja mereka mencuri dengan tanda tangan, bukan pisau belati.

Malam ini, ia telah memenuhi kantongnya dengan lembaran-lembaran yang lebih dihormati daripada akhlak. Tapi perutnya memberontak, mengingatkannya bahwa tubuh manusia masih memiliki kebutuhan yang lebih mendesak dari sekadar rasa aman. Toilet umum di kota ini lebih mahal daripada harga moral. Maka, ia memilih dinding usang di sudut gang, bersandar, dan membebaskan diri.

Saat itu, pintu sebuah kafe mewah terbuka. Bukan untuk menyambut, tetapi untuk membuang.

Lima atau enam pria berjas menyeret seorang wanita keluar, seperti seonggok sampah yang sudah kehilangan nilai guna. Gaun hitamnya yang pendek berkibar seperti sayap burung yang patah, tak mampu membawanya pergi dari marabahaya. Rambutnya terurai liar, menjadi sungai gelap yang mengalir menuju kehancuran.

Para pria itu tertawa. Bukan tawa kebahagiaan, tetapi tawa orang-orang yang tahu bahwa dunia berpihak pada mereka.

“Dosisnya cukup kuat?”

“Tentu, aku membayarnya mahal!”

Teje mengepalkan tinjunya. Ia pernah mencoba menjadi pahlawan di kota ini, dan berakhir di dalam sel karena menolong seorang wanita yang dipukuli pacarnya. Di kota ini, seorang penolong adalah pengganggu. Seorang saksi adalah musuh. Seorang yang melawan adalah sampah.

“Aku tak peduli,” gumamnya. Ia menutup resleting celananya, siap beranjak, karena ia tahu: di kota ini, orang baik hanya jadi berita kematian esok hari.

Namun, tepat saat ia berbalik, wanita itu menggelepar dan berteriak.

“Tolong, selamatkan aku!”

Jeritan itu menembus malam seperti kaca yang pecah di telinga.

Para pria itu tertawa.

“Wow, bidadari kita sudah bangun! Jangan takut, sayang, kami para ksatria yang akan membuatmu bahagia!”

Teje memejamkan mata. Ia tahu, di kota ini, semua bisa dibeli—keadilan, kehormatan, bahkan rasa takut. Tapi tidak untuk malam ini.

Ia melepaskan ikat pinggangnya—kepalanya dari besi, warisan dari jalanan.

“Lepaskan dia.”

Para pria itu menoleh. Seorang lelaki dengan jeans lusuh dan kaos pudar berdiri menantang.

“Hei, gembel! Kau pikir ini urusanmu?”

“Dasar anjing desa, enyah kau!”

Teje tidak menjawab. Kata-kata adalah mata uang yang tidak berlaku dalam transaksi ini. Ia hanya mengayunkan kepala ikat pinggangnya.

Plak!

Logam menghantam kepala salah satu pria. Darah merembes, mewarnai malam yang seharusnya hanya bercat dosa.

Yang lain mencabut pisau.

“Kau cari mati, bocah?”

Teje tersenyum. Ia sudah lama hidup di tepian maut.

Pisau menyambar, tetapi ia lebih cepat. Ia berputar seperti badai, menghantam, mematahkan, menghancurkan. Namun, akhirnya, mata pisau menemukan jalannya.

Dada Teje tertembus.

Ia tersentak, tetapi tidak jatuh. Kalung taring harimau di lehernya—warisan kakeknya—retak dan pecah.

Darah mengalir, tapi ia masih berdiri.

Dengan tenaga terakhirnya, ia menampar pemuda yang memegang pisau. Tamparan itu bukan sekadar serangan—itu adalah murka dari lelaki yang muak dengan kepalsuan dunia.

Pemuda itu terjatuh. Giginya berserakan di tanah seperti nilai moral yang sudah lama terkubur.

Teje meraih wanita itu, menggendongnya, dan berlari.

Ia berlari melewati gang-gang gelap yang penuh dengan sisa mimpi yang tak pernah menjadi kenyataan. Napasnya berat, tetapi langkahnya tidak goyah.

Akhirnya, ia menemukan sebuah gang kecil. Dengan tangan berdarah, ia meletakkan wanita itu di atas tanah yang masih berlumpur.

Ia duduk di sampingnya, menghirup napas panjang. Rasa sakit mulai merayapi tubuhnya, seperti hutang yang akhirnya harus dibayar.

Ia menatap langit. Di atas sana, lampu-lampu kota berkedip—bukan untuk menerangi, tetapi untuk mengejek.

Teje menghembuskan napas terakhirnya, di samping wanita yang ia selamatkan.

Di luar sana, kafe-kafe masih riuh. Musik masih berdentum.

Orang-orang masih tertawa.

Kota ini tetap sama.

Dan mungkin, akan selalu seperti ini. (*)

Padang, 1 Februari 2025