Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600 ------ Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600 ------ Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600 ------ Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600 ------ Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600

Lalu, Puisi Itu Apa?

December 25, 2024 20:27
Pinto Janir (Foto: Ist/Hatipena)
Pinto Janir (Foto: Ist/Hatipena)


// Pinto Janir

SAYA pernah kedatangan beberapa anak muda yang tertarik dengan dunia sastra.

Dia bertanya, menurut saya puisi itu apa?

Saya menjawab, “Tak perlu mencari definisi atas puisi. Tulis sajalah apa apa yang kau rasakan. Soal bagus atau bukan, jangan hiraukan… “.

“Saya takut menulis puisi bang. Takut dianggap buruk dan dangkal,” ia menjawab.

Yang satunya lagi menyela: “Bukankah puisi itu harus unik bang?”

Satunya lagi bersaru saru : “Bukankah puisi adalah menangkap kata terpilih? Lalu, bagaimana cara menangkapnya, bang?”

Kemudian dia mendesak: “Bagaimana teknis membuat puisi bang? Triknya apa? Teorinya apa?”

Saya masih tetap dengan saksama menyimak dan mendengar.

Saya cacar kopi. Saya bakar rokok. Saya hirup seangin. Saya lepaskan pelan-pelan.

Baru saya berkata: “Memulai menulis puisi, jangan cermati dulu teori . Nanti kamu terperangkap teori itu sendiri.”

“Tak ada teorinya, bang?”

“Tidak!” jawab saya.

“Kalau begitu… “
Belum sempat ia meneruskan kata, saya sudah menyambarnya.

“Buka henponmu. Tulis segera. Apa yang hendak kamu tulis. Tulis saja dulu… Padatkan bahasanya… Bila tak terpaksa benar, hindarkan kata-kata klise…”.

Dia membuka HP, lalu mulai menulis.

Di sela menulis, dia bertanya juga baru, “Menurut abang, puisi yang baik itu bagaimana?”

Saya jawab: “Lama-lama kamu juga akan tahu dan memahaminya setelah sering sering menulis puisi… “.

Dia mengangguk-angguk. Entah dia paham atau tidak, saya tidak pula tahu. Isi kepala dan hati orang mana bisa ditebak dengan sempurna.

“Semua berproses. Kata Plato, kebenaran adalah anak dari waktu. Tetaplah belajar. Belajar tanpa berpikir itu sia-sia. Berpikir tanpa belajar itu sangat berbahaya”.

Saya kutipkan kata bijak dari Kong Hu Cu.

Saya terus berkata sambil dia asyik menulis di HP-nya: “Nulis puisi itu, lukisan suasana menitipkan pesan. Puisi adalah filsafat. Suatu saat, bila takdirmu menjadi penyair, kamu akan membenarkan apa yang saya sampaikan. Tapi, jika takdirmu bukan seorang penyair, tak perlu diajan-ajankan. Karena puisi itu adalah ‘titipan’ Tuhan kepada penyair. Walau begitu, puisi bukan hanya milik penyair. Ia adalah milik manusia yang berpikir dan berasa. Karena tiap kita, bebas bersuara dan menuliskannya asal bertanggung jawab. Begitulah sebuah realita moralitas. Adalah tanggung jawab dalam suka dan duka…. “

Dia menyimak. Lalu membacakan kepada saya apa yang barusan dia tulis yang ia sebut sebagai puisi.

Saya tersenyum!

Jakarta 25 Desember 2024