Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600 ------ Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600 ------ Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600 ------ Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600 ------ Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600

Menulis Puisi Esai Cocok Buat Emak-emak

January 25, 2025 15:36
IMG_20250125_153547

Gol A Gong, Novelis

HATIPENA.COM – Pro dan kontra puisi esai yang digagas Denny JA pada 2012 hingga kini terus berlangsung. Buat saya, biar saja, tidak apa-apa. Dialektika harus tetap kita hidupkan. Chairil Anwar juga pada awalnya pro dan kontra. Kita lihat saja konsistensinya, apakah puisi esai nanti akan mati dilindas waktu di tahun ketiga belas dan seterusnya. Memang puisi dengan catatan kaki bukan yang pertama tapi saat itu tidak jadi gerakan.

Paling menarik bagi saya adalah ketika istri saya merespons, bahwa tampaknya puisi esai cocok untuk emak-emak sebagai cara menuangkan isi hati dan pikirannya. Saya bertanya, “Kenapa bisa begitu, Mamah?”

“Kami para ibu takut melihat iklim perpuisian di sini. Penyairnya ternyata kalau berdebat dalam diskusi kasar-kasar, senang mengggunakan kata-kata yang tidak senonoh. Aku risih. Nah, Komunitas Puisi Esai ini bagi emak–emak lebih ramah, sopan-sopan, saling dukung. Mereka juga tidak saling mengaku sebagai sastrawan atau penyair.”

Istri saya memang merasa nyaman ketika selama 2 hari mengikuti Festival Puisi Esai Jakarta II di PDS HB Jassin, 13-14 Desember 2024. Dia berkenalan dengan para penulis puisi esai yang mewakili kelompoknya, yaitu emak-emak.

“Papah, aku kan emak-emak. Boleh ya, nulis puisi esai?”

Saya bertanya lagi kepada istri saya, “Kenapa Mamah bisa tertarik ingin menulis puisi esai?”

“Konsep puisi esai lebih memudahkan aku merumuskan ide-ide ke dalam puisi,” kata istri saya. “Tinggal riset pustaka. Mengumpulkan fakta dan datanya. Secara emosi lebih terlibat. Ini bentuk pendokumentasian peristiwa dengan cara memilih diksi-diksi puitis. Mamah rasa, puisi esai juga bisa sebagai transisi ke jenis puisi mainstream.”

Jawab saya, boleh. “Sebagai suamimu, aku akan melindungimu jika ada yang menghina ke pribadimu gara-gara kamu menulis puisi esai. Tapi jika puisi esaimu dibilang jelek, anggap itu kritikan dan tingkatkan kualitasnya di puisi esai berikutnya.”

“Aku juga tertarik karena kredo Komunitas Puisi Esai, bahwa ‘yang bukan penyair, silakan bergabung’. Aku kan bukan penyair.”

Aku hanya tersenyum, kemudian mengangguk, mengizinkan istri saya yang tertarik ingin menulis puisi esai. Dampak dari kredo yang digaungkan Komunitas Puisi Esai, bahwa “yang bukan penyair, silakan bergabung” itu ternyata bukan kepada istri saya saja yang tertarik, tapi dari Sabang hingga Merauke, yang bukan penyair menyampaikan ketertarikan untuk menulis puisi esai. Mulai dari ibu rumah tangga, akademisi bergelar doktor, guru, ASN, dan sekarang masuk ke Gen-Z. (*)