HATIPENA.COM adalah portal sastra dan media untuk pengembangan literasi. Silakan kirim karya Anda ke Redaksi melalui pesan whatsapp ke 0812 1712 6600 ------ HATIPENA.COM adalah portal sastra dan media untuk pengembangan literasi. Silakan kirim karya Anda ke Redaksi melalui pesan whatsapp ke 0812 1712 6600 ------ HATIPENA.COM adalah portal sastra dan media untuk pengembangan literasi. Silakan kirim karya Anda ke Redaksi melalui pesan whatsapp ke 0812 1712 6600 ------ HATIPENA.COM adalah portal sastra dan media untuk pengembangan literasi. Silakan kirim karya Anda ke Redaksi melalui pesan whatsapp ke 0812 1712 6600 ------ HATIPENA.COM adalah portal sastra dan media untuk pengembangan literasi. Silakan kirim karya Anda ke Redaksi melalui pesan whatsapp ke 0812 1712 6600

Pelukan Angin Tanah Air

September 22, 2025 08:31
IMG-20250922-WA0007

Oleh: Nurul Jannah

Aspal kota mendidih
di bawah matahari yang mengiris langit,
sementara sawah desa
menebar kesejukan bagai doa yang tak putus,
mengundang burung-burung kecil melagukan harapan tanpal lelah.

Di antara keduanya,
angin berlari liar,
membawa kabar cinta yang tak kan lapuk, tanah air ini masih berdenyut
di persimpangan luka dan doa yang tertahan.

Aku menyentuh wajah tukang parkir: dikeraskan letih,
dipahat debu harapan,
lalu meraba tangan petani: retak-retak
namun memeluk doa panjang.
Keduanya menyimpan mimpi serupa:
bahwa negeri ini akan tetap teguh,
jika dijaga dengan keberanian dan cinta yang utuh.

Pernah kulihat anak kota menatap bintang dari balkon sempit,
langit terasa terlalu kecil:
ia merindukan luas padang desa yang tak berbatas.
Dan kulihat anak desa menatap lampu kota di kejauhan,
membayangkan masa depan yang bercahaya di balik bayang-bayang rindu.

Dari jalan macet yang memekakkan jiwa
ke jalan setapak berembun yang menyelimuti ketenangan,
dari klakson meraung beringas
ke nyanyian kodok sawah yang menimang malam, Indonesia,
tanah air ini berbisik tajam:

“Jangan biarkan aku retak dan tercerai.
Peluklah aku dengan seluruh doa dan keberanian kalian.”

Di bawah bulan yang merayap perlahan di punggung langit,
kulihat tanah air ini sebagai pelangi luka dan cinta,
gunung-gunungnya
menyimpan janji,
lautannya menahan air mata,
dan di antara napas angin yang menyeberang dari aspal ke sawah,
ada tangan-tangan kecil yang percaya bahwa harapan akan selalu menemukan rumah.

Ketika fajar pecah di ufuk timur,
angin mengguncang langit dengan pekik abadi.

“Bangkitlah,
wahai sang penjaga tanah air!
Jangan biarkan pelukan angin ini kehilangan rumahnya.
Sebab di genggaman kalian, tanah air tercinta, Indonesia akan terus bernyanyi:
menghentak bumi,
dan menyalakan
bintang-bintang masa depan.” (*)

Bogor, 22 September 2025