Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600 ------ Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600 ------ Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600 ------ Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600 ------ Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600

Pers; antara Merdeka atau Dijajah?

February 7, 2025 07:59
IMG-20250207-WA0009

Ilustrasi : AI/ Hatipena
Catatan Paradoks; Wayan Suyadnya

HATIPENA.COM – Beberapa hari lagi, atau tepatnya tanggal 9 Februari, masyarakat jurnalistik Indonesia merayakan Hari Pers Nasional.

Hari yang seharusnya penuh kebanggaan, perayaan atas kemerdekaan pers yang telah diperjuangkan dengan keringat, darah, dan pengorbanan.

Namun, di balik gegap gempita perayaan, terselip sebuah ironi: benarkah pers kita telah benar-benar merdeka, atau jangan-jangan pers kita sedang terjajah.

Era ini membawa paradoks yang tak terbantahkan. Masyarakat pers Indonesia tengah berada di persimpangan yang suram—hidup segan, mati tak mau.

Satu per satu media cetak tumbang: koran, majalah, tabloid, menghilang dari peredaran. Jika pun masih ada, jumlah halaman menyusut, oplah menurun drastis.

Di perempatan jalan, penjual koran yang dulu jadi pemandangan khas kini lenyap. Kemarin saya di Jakarta, sama sekali tak melihat “si budi kecil” menjajakan koran. Di Bali apa lagi, penjaja koran nyaris mati.

Televisi dan radio pun tak luput dari ancaman, berjuang keras di tengah gempuran digitalisasi yang tak terelakkan.

Jika media tak lagi mampu bertahan secara bisnis, bagaimana mungkin mereka bisa menjalankan tugas dan fungsinya sebagai pilar demokrasi? Bagaimana pers bisa merdeka jika secara ekonomi tidak sehat, bahkan sekarat?

Undang-Undang No. 40 Tahun 1999 tentang Pers dan Undang-Undang No. 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran kini terasa usang. Saat peraturan itu disusun, belum ada media sosial, belum ada YouTube, Facebook, WhatsApp, Instagram, atau TikTok.

UU Pers dan UU Penyiaran masih berkutat pada cetak, televisi, dan radio—sementara dunia telah berubah. Paradoks kembali muncul: ketika revisi UU Penyiaran mulai dibahas, justru Dewan Pers dan sebagian dari kalangan pers yang menolaknya.

Bukankah yang seharusnya ditolak adalah pasal-pasal yang merugikan, bukan revisinya? Nyatanya yang ditolak revisi UU Penyiaran sehingga DPR pun urung membahasnya.

Mengapa justru mereka yang seharusnya menjaga kemerdekaan pers kini menjadi pihak yang menghambat pembaruan?

Ketika ditolak berarti mereka senang dengan kondisi ini. Ada yang untung dan ingin mempertahankan situasi ini? Siapa mereka?
Jelas, yang diuntungkan adalah platform asing—YouTube, TikTok, FB dan raksasa media digital lainnya. Ditanya siapa mereka? Aseng, eh asing. Apakah Dewan Pers dan mereka yang menolak menyadari hal itu? Saya tak yakin lembaga sesakral Dewan Pers menjadi antek asing.

Media kita masih terjajah oleh algoritma global, tunduk pada aturan main yang bukan kita tentukan.

Ketika televisi lokal menayangkan konten yang melanggar norma, izin siar bisa dicabut, penanggung jawabnya bisa dipidana. Namun, ketika platform asing menayangkan konten serupa, yang dihukum hanya individu, sementara mereka tetap kebal hukum.

Tidakkah ini sebuah ketidakadilan? Tidakkah Dewan Pers menyadari bahwa mereka sedang menjadi alat bagi kepentingan asing yang semakin mencengkeram dunia pers kita?

Tak hanya itu, perayaan Hari Pers kali ini juga dibayangi perpecahan di tubuh organisasi wartawan tertua, PWI. Bahkan, sekretariatnya pun terusir dari Gedung Dewan Pers di Kebon Sirih Jakarta.

Cilakanya, yang mengusir bukan oleh pemiliknya. Mirisnya lagi, terjadi di saat pers tengah menghadapi ancaman dari luar, justru dari dalam kita tercerai-berai.

Hari itu seharusnya menjadi momentum refleksi bagi kita semua. Bukan sekadar perayaan, tetapi juga perenungan: apakah pers Indonesia benar-benar merdeka?

Atau justru sedang berjalan menuju kematiannya?

Selamat Hari Pers. Semoga perayaan ini menjadi awal dari kebangkitan, bukan sekadar nyanyian perpisahan.

Denpasar, 9 Februari 2025