Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600 ------ Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600 ------ Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600 ------ Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600 ------ Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600

Dua Wajah Feodalisme Baru

January 6, 2025 12:22
IMG_20250106_122128

Albertus M. Patty

DALAM bukunya Techno Feudalism: What Killed Capitalism, Yanis Varoufakis menggambarkan transformasi kapitalisme menjadi sistem baru yang ia sebut Techno Feudalism. Di dunia maju, kapitalisme tak lagi berjalan dengan logika pasar bebas, melainkan berubah menjadi hierarki digital. Raksasa teknologi seperti Google, Amazon, dan Meta mengambil alih peran utama sebagai tuan tanah baru, sementara data adalah “tanah” yang mereka kuasai. Para pengguna, termasuk konsumen dan pelaku usaha kecil, menjadi vasal yang bergantung pada platform ini untuk hidup, bekerja, dan berbisnis.

Yanis berargumen bahwa kapitalisme telah mati karena kompetisi pasar telah digantikan oleh monopoli digital. Dalam techno feudalism, nilai tidak lagi dihasilkan melalui produksi barang atau jasa, melainkan melalui kontrol data dan algoritma yang mengatur kehidupan digital kita. Namun, realitas ini lebih cocok menggambarkan konteks negara-negara maju yang telah sepenuhnya terdigitalisasi. Meski buku Yanis ini sangat penting untuk ditelisik. Persoalannya pembahasannya lebih cocok untuk menggambarkan realitas negara maju, bukan negara berkembang.

Feudal-Capitalism
Di negara berkembang seperti Indonesia, yang muncul bukanlah Techno Feudalism. Saya lebih suka menyebutnya Feudal Capitalism yang merupakan wajah baru dari feodalisme modern.

Di sini, kekuasaan oligarki yang menguasai tanah, sumber daya, dan politik menjadi faktor dominan. Kapitalisme tetap hidup, tetapi dalam bentuk yang terdistorsi, di mana hierarki kekuasaan berbasis kekayaan tradisional masih sangat kuat.

Perbedaan utama antara keduanya terletak pada sumber dominasi: techno feudalism didasarkan pada kontrol atas data dan teknologi digital, sementara feudal capitalism bertumpu pada kekuasaan atas tanah, sumber daya alam, dan sistem politik lokal.

Untuk memahami dunia hari ini, kita harus mengenali dua wajah feodalisme baru ini. Satu didorong oleh teknologi, satu lagi oleh oligarki tradisional. Feodalisme baru ini, baik digital maupun tradisional, tak boleh dibiarkan menjadi kekuatan super power yang memperbudak generasi mendatang.

Keduanya adalah tantangan besar yang menuntut solusi berani untuk masa depan yang lebih adil. Lalu apa solusinya?

Tiga Solusi
Saya mengusulkan tiga solusi konkret untuk memutus rantai feodalisme baru ini:

  1. Demokratisasi data: Kebijakan yang memastikan akses data dikelola untuk kepentingan publik, bukan monopoli perusahaan teknologi.
  2. Pemberdayaan masyarakat adat: Kembalikan hak atas tanah dan sumber daya kepada komunitas lokal yang telah diserobot kaum oligarki. Masyarakat lokal sudah berdomisi di tanah itu selama puluhan dan bahkan ratusan tahun. Mereka adalah masyarakat miskin dan rapuh. Jangan biarkan mereka kehilangan kemanusiaan mereka karena kehilangan tanah yang adalah jiwa mereka sendiri.
  3. Reformasi politik: Hapuslah korupsi sistemik yang makin merapuhkan nilai-nilai luhur yang menjadi pondasi bangsa ini. Pastikan transparansi dan akuntabilitas dalam pengelolaan negara.

Transformasi feodalisme dan kapitalisme jelas menciptakan struktur yang tidak adil. Realitas ini membutuhkan respons dan keberanian yang cerdas untuk bekerja keras guna merebut kembali hak dan martabat sebagian besar anak bangsa ini.

Bandung, 6 Januari 2025