Rosadi Jamani
Ketua Satupena Kalbar
HATIPENA.COM – Politik itu kejam. Ada benarnya. Untungnya bukan di sini, melainkan di Kolombia. Cucu mantan presiden yang sedang kampanye Capres ditembak di bagian kepala. Yang nembak remaja 15 tahun. Ada baiknya kita ungkap kisah ini untuk dijadikan pelajaran buat para politisi di sini.
Kolombia, tanah tropis yang harum oleh aroma kopi dan mesiu. Negeri yang tanahnya subur untuk bunga, ganja, dan konflik politik. Pada tanggal 7 Juni 2025, sejarah tidak sekadar ditulis, ia ditembak. Tiga kali. Tepat ke kepala dan lutut seorang calon presiden, Miguel Uribe Turbay, politisi muda yang tampan, waras, dan tentu saja, terlalu hidup untuk dibiarkan oleh realitas politik Amerika Latin yang tidak kenal belas kasihan.
Uribe sedang berkampanye di Bogota, penuh semangat dan janji-janji manis yang seandainya dikonversi ke mata uang bisa membangun dua pulau dan satu wahana roller coaster demokrasi. Tapi takdir berkata lain. Seorang remaja, ya, remaja, lima belas tahun! mendekatinya dengan wajah masa depan dan tangan membawa masa lalu. Glock. Tiga tembakan dilepaskan. Dua masuk ke kepala Uribe, simbol bahwa di Kolombia, berpikir politik adalah tindakan berbahaya. Satu peluru mengenai lututnya, seakan demokrasi tidak hanya ingin membungkam otak, tapi juga menekuk langkah.
Kini Uribe terbaring di ICU Santa Fe Foundation, tempat para dokter bukan cuma menyelamatkan nyawa, tapi juga mencoba menahan trauma nasional. Ia telah menjalani bedah saraf dan vaskular, dua jenis operasi yang dalam istilah medis berarti “berusaha membuat harapan tetap hidup meskipun otak sudah ditembak dua kali.” Para dokter menyebut jam-jam berikutnya adalah krusial, yang dalam bahasa rakyat berarti, “Berdoa saja semampunya, karena kami pun tidak yakin.”
Sementara itu, ribuan warga Kolombia berkumpul di depan rumah sakit. Mereka menyalakan lilin, menyanyikan lagu kebangsaan, dan menangis di Instagram Live dengan caption “#PrayForUribe.” Ini bukan hanya duka cita, ini adalah drama kolektif rakyat yang terlalu sering berharap dan terlalu sering kecewa. Di tengah tangis dan lampu kamera, Partai Centro Democratico mengutuk keras serangan ini, menyebutnya sebagai “serangan terhadap demokrasi.” Lucu, karena demokrasi di Kolombia sudah lama dibunuh secara berkala sejak 1948, tapi tidak pernah ada yang ditangkap selain kambing hitam.
Pelaku sudah diamankan. Seorang anak usia sekolah yang entah belajar dari Call of Duty atau sejarah politik negaranya sendiri. Polisi menyita senjata Glock, sebuah nama yang terdengar seperti startup fintech, tapi ternyata lebih efektif dalam menghentikan mimpi. Pemerintah menawarkan hadiah Rp12 miliar bagi siapa saja yang bisa memberikan informasi soal dalang di balik serangan ini. Dua belas miliar rupiah, cukup untuk membeli satu kursi DPR, dua vila di Cartagena, atau satu momen kebenaran dalam politik, jika itu memang dijual.
Siapa Miguel Uribe Turbay? Ia bukan hanya cucu dari mantan Presiden Julio Cesar Turbay Ayala, ia adalah simbol dari generasi politisi baru yang cukup pintar untuk menentang Presiden Gustavo Petro, cukup tampan untuk memes TikTok, dan cukup nekat untuk percaya bahwa pemilu bisa dimenangkan tanpa peluru.
Pemilu dijadwalkan Mei 2026. Masih setahun lagi. Tapi darah sudah mengalir, dan suara rakyat sudah tercecer di trotoar. Ini bukan sekadar politik, ini adalah opera sabun. Dunia menonton. Dunia menganga. Tapi Kolombia tahu, ini hanya Selasa sore biasa.
Di negeri di mana demokrasi adalah pertunjukan, dan peluru adalah kritik, Miguel Uribe kini menjadi plot twist paling tragis tahun ini. Sebuah tragedi nasional. Atau komedi gelap. Tergantung siapa yang menang nanti.
Sebrutal-brutalnya politik di negeri kita, paling hanya “mengguyuk” atau mengguncang pintu pagar Senayan. Separah-parahnya politik di sini, paling demo di depan gedung dewan. Semoga politik kejam yang terjadi di Kolombia bisa dijadikan pelajaran. (*)
#camanewak