Ikuti Sayembara Menulis Novel Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) 2025. Ketentuan dan Syarat #sayembaranoveldkj2025 ------ Ikuti Sayembara Menulis Novel Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) 2025. Ketentuan dan Syarat #sayembaranoveldkj2025 ------ Ikuti Sayembara Menulis Novel Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) 2025. Ketentuan dan Syarat #sayembaranoveldkj2025 ------ Ikuti Sayembara Menulis Novel Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) 2025. Ketentuan dan Syarat #sayembaranoveldkj2025 ------ Ikuti Sayembara Menulis Novel Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) 2025. Ketentuan dan Syarat #sayembaranoveldkj2025

KMP vs LPD

June 10, 2025 11:08
IMG_20250610_110653

Catatan Paradoks: Wayan Suyadnya

HATIPENA.COM – Sebentar lagi akan lahir “mesin ekonomi” baru di tiap desa/kelurahan di seluruh negeri; Koperasi Desa/kelurahan Merah Putih, sebut saja KMP.

Ia adalah janji, ia adalah rencana, ia adalah program unggulan dari Presiden Prabowo. Setiap desa dan kelurahan akan memiliki KMP. Puluhan ribu jumlahnya. Di Bali pun tak luput.

Tapi Bali bukan sekadar gugus desa. Ia adalah napas panjang dari adat dan sejarah. Di sini, sudah lama tumbuh akar yang dalam, bernama LPD – Lembaga Perkreditan Desa.

Ia tidak lahir dari pidato presiden, tapi dari denyut kebutuhan masyarakat adat. Ia tidak disuntik bank negara, tapi disiram oleh kepercayaan masyarakat.

Fungsi utamanya sederhana tapi sakral: memberikan pinjaman kepada krama desa, mengelola simpanan, mendukung pembangunan, dan—di atas segalanya—melestarikan nilai-nilai lokal yang tidak tercatat dalam RPJMN.

LPD bukan hanya soal bunga pinjaman, tapi soal hubungan antara orang tua dan anak, antara pemangku dan petani, antara pura dan pasar.

Kini akan datang KMP, dan dunia pun menjadi paradoks.

Koperasi, menurut kitab aslinya, adalah demokrasi ekonomi. Dibentuk oleh anggotanya, untuk anggotanya. Ada rapat anggota yang memiliki kekuasaan tertinggi dan menentukan segalanya atas koperasi dimaksud.

Sementara KMP lahir dari tangan negara. Ia ditetapkan, bukan dirundingkan. Ia diturunkan, bukan dimusyawarahkan.

Pertanyaannya: siapa anggotanya? Apakah semua warga desa akan diwajibkan masuk menjadi anggotanya? Kalau tidak, untuk siapa koperasi ini dibentuk?

Dan kalau iya—jika setiap warga wajib menjadi anggota—maka KMP bukan sekadar koperasi. Ia adalah negara dalam bentuk baru: mengelola dana masyarakat, meminta iuran, dan mengatur program.

Hebatnya, bank-bank milik negara siap menyuntik dana hingga lima miliar. Apa yang menjadi jaminannya? Apakah karena ia akan menjadi mesin ekonomi desa?

Bali sudah punya mesinnya sendiri. Namanya LPD. Ia bukan hanya institusi keuangan, melainkan roh ekonomi adat.

Di tiap desa adat, LPD telah menjadi bagian dari sistem nilai. Ia tumbuh pelan, diam, namun mencengkeram bumi.

Kini LPD berhadapan dengan KMP. Dua lembaga, dua akar, dua tubuh yang tumbuh di satu tanah. Apakah mereka akan saling bersinergi? Atau saling menyingkirkan?

Produk simpan pinjam yang menjadi andalan LPD misalnya, akan bersaing dengan pinjaman ala KMP. Apakah LPD akan tergerus? Apakah KMP akan menggantikan peran LPD? Atau justru, keduanya bisa berdampingan?

Ini bukan sekadar soal keuangan—ini soal identitas, soal arah, soal siapa yang memegang kendali atas ekonomi desa.

Siapa yang akan menjadi pengurus KMP? Orang desa, atau pejabat dari kabupaten? Apakah suara adat akan didengar? Ataukah program akan diimpor bulat-bulat dari pusat?

Di Bali, membangun dari desa bukan jargon. LPD telah membuktikan. Tanpa banyak bicara, ia menanam hasil. Maka ketika KMP datang membawa janji, masyarakat akan menunggu: apakah ini benar pembangunan, atau sekadar pengulangan?

Paradoks itu nyata. Di satu sisi, negara hadir terlalu jauh. Di sisi lain, lembaga lokal yang telah terbukti jauh hari berurat-berakar. Ia tak boleh diabaikan. Kita berharap pertemuan dua dunia ini lahir “mesin ekonomi” model baru: sebuah harmoni antara adat dan negara, antara LPD dan KMP. Keduanya tak boleh saling saling memangsa.

Desa bukan ladang eksperimen. Ia adalah rumah, dan rumah perlu dijaga, bukan hanya dibangun. (*)

Denpasar, 10 Juni 2025