Ikuti Sayembara Menulis Novel Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) 2025. Ketentuan dan Syarat #sayembaranoveldkj2025 ------ Ikuti Sayembara Menulis Novel Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) 2025. Ketentuan dan Syarat #sayembaranoveldkj2025 ------ Ikuti Sayembara Menulis Novel Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) 2025. Ketentuan dan Syarat #sayembaranoveldkj2025 ------ Ikuti Sayembara Menulis Novel Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) 2025. Ketentuan dan Syarat #sayembaranoveldkj2025 ------ Ikuti Sayembara Menulis Novel Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) 2025. Ketentuan dan Syarat #sayembaranoveldkj2025

Selamat Tinggal, Wahai Mina

June 10, 2025 09:20
IMG-20250610-WA0026

Catatan Cak AT

“Wahai Mina… tempat saksi tangis dan doa kami, semoga Allah izinkan kami kembali menapak langkah di Tanah Suci ini…”


HATIPENA.COM – Kalimat itu meluncur dari bibir Ustadz KH. Aminullah Tsamud, yang air matanya bukan hanya menetes tapi mungkin sudah mendaftar sebagai debit tahunan Sungai Zamzam.

Di tenda besar ber-AC yang lebih nyaman dari kontrakan mahasiswa semester akhir, 35 jemaah Amsa Nur menunduk khusyuk, berdoa seakan tidak ingin kembali ke Indonesia.

Dan siapa yang mau? Di sini, tak ada cicilan motor, tak ada traffic Jakarta, tak ada gosip WA grup RT, hanya ada Allah, dzikir, dan… ya, AC. Itulah yang disediakan kebanyakan perusahaan haji plus, termasuk yang saya tulis hari ini, Amsa Nur.

Tapi seperti semua hal dalam hidup –diskon Tokopedia, promo 6 Juni, bahkan durasi Wi-Fi gratis di minimarket– ibadah haji juga ada akhirnya.

Tanggal 13 Zulhijjah adalah penghabisan, panggung terakhir dari rangkaian drama spiritual haji lima babak: Tarwiyah, Arafah, Muzdalifah, Mina, dan Tawaf Wada’.

Babak I: Tarwiyah — Malam Panjang Menuju Kesadaran

Tarwiyah (8 Zulhijjah), sebuah hari yang kini lebih sering dilupakan karena bukan rukun haji yang wajib. Tapi tidak bagi jemaah Amsa Nur. Mereka memilih mengikuti jejak Nabawi, menghidupkan sunnah, memulai perjalanan suci dengan satu malam tinggal sebentar atau mabit di Mina.

Tarwiyah berasal dari kata rawa-yarwi, yang berarti “memenuhi” atau “menyediakan air”. Dulu, para jemaah bersama hewan kurban memang perlu menyiapkan air sebanyak mungkin sebelum menuju Arafah. Namun kini, dengan teknologi galon isi ulang dan hidrasi kemasan 600 ml, semangatnya berubah menjadi: mengisi ulang jiwa.

Malam itu, seluruh jemaah Amsa Nur melaksanakan salat lima waktu secara qashar (dipersingkat, bukan dijamak). Di pertiga malam, mereka menuntaskan tiga rakaat salat taubat, empat rakaat tasbih, tahajjud, dan ditutup dengan witir.

Bayangkan, para jemaah ini seperti spiritual athlete —puasa nafsu di siang hari, lari menuju maqam spiritual puncak di malam harinya. Sementara sebagian kita, mungkin sedang lari dari alarm Subuh.

Babak II: Arafah — Puncak Perjumpaan

Tanggal 9 Zulhijjah adalah Arafah. Tempat di mana manusia bisa merasakan trailer versi bumi dari Hari Kiamat: berjuta manusia berdesak, menangis, dan berharap pengampunan.

Di sinilah inti dari haji: wukuf. Saking pentingnya, Rasulullah bersabda, “Al-hajju Arafah” – Haji itu adalah Arafah.

Dan apa yang dilakukan jemaah Amsa Nur? Ya tentu saja berdoa sambil menangis, lagi dan lagi. Mungkin perlu diselidiki, apakah air mata para jemaah ini bisa diolah menjadi energi terbarukan —ramah lingkungan dan penuh keikhlasan.

Babak III: Muzdalifah — Simpan Batu, Jangan Dendam

Malam 10 Zulhijjah, para jemaah bergerak ke Muzdalifah untuk mabit (bermalam sejenak) dan memungut batu. Bukan sembarang batu, tapi simbol perjuangan melawan setan.

Sayangnya, beberapa jemaah justru membatin, “Setan saya di Indonesia bentuknya manusia sih, bukan batu.” Tahan dulu, Pak, sabar… Di haji inilah ujian kesabaran jamaah betul-betul diuji.

Babak IV: Mina — Arena Gladi Taqwa

Tanggal 10 hingga 13 Zulhijjah adalah hari-hari tasyriq. Di sinilah terjadi aksi melempar tiga jumrah: Ula, Wustha, dan Aqabah, sambil membaca takbir. Ini bukan pelemparan karena baper atau kisah cinta gagal, tapi simbolis: lempar syahwat, lempar angkara, lempar ego.

Dan yang luar biasa dari jemaah Amsa Nur: selama tiga hari tasyriq, selain lempar jumrah, salat berjamaah tetap jalan, qiyamul lail tidak pernah putus, bahkan subuh-subuh mereka masih sempat zikir dan berbagi cerita soal mimpi ketemu Rasulullah (atau minimal ketemu mantan, yang entah kenapa muncul di sela-sela munajat malam).

Babak V: Tawaf Wada’ — Cium Kakbah, Peluk Diri Sendiri

Akhirnya, setelah Mina ditinggalkan, seluruh jemaah melakukan tawaf wada’ —tawaf perpisahan. Saat itulah, hati seolah menjerit: “Kenapa waktu cepat sekali berlalu? Padahal di pos imigrasi Bandara Jeddah, waktu terasa seperti abad ke-15.”

Tapi itulah hidup. Semua yang manis harus berlalu. Dan semua jemaah harus pulang, kembali ke dunia nyata. Dunia tempat WhatsApp masuk tak berhenti, pengajian disambi nonton drakor, dan keikhlasan mulai diuji di tengah macet jalanan.

Ala kulli hal, pertanyaannya adalah: apakah Mina hanya sekadar tempat berkemah spiritual atau titik balik eksistensial?

Apakah ibadah haji kita benar-benar menanamkan makna atau sekadar jadi bahan feed Instagram dan status WhatsApp dengan caption “Lagi di Tanah Suci, doain yaa 🕋🥹”?

Data menunjukkan bahwa efek spiritual haji memang nyata. Menurut riset Clingingsmith, Khwaja & Kremer (2013), jemaah yang melaksanakan haji cenderung lebih toleran, religius, dan memiliki tingkat kepuasan hidup yang lebih tinggi dibanding yang belum haji. Tapi tentu, ini hanya terjadi jika haji benar-benar dimaknai, bukan hanya dijalani.

Pada akhirnya, kini para jemaah bersiap pulang. Ada yang jauh hari sudah siap-siap bawa tas untuk diisi air zamzam, ada yang bawa kismis dan kurma Ajwa. Mungkin juga beli oleh-oleh ala Tanah Abang.

Tapi semoga yang paling penting tetap dibawa adalah: ketaqwaan, ketundukan hati, kesabaran, dan komitmen taat yang tak perlu AC atau tenda Mina untuk bertahan.

Selamat tinggal wahai Mina. Semoga kami tak hanya meninggalkanmu dengan kaki, tapi membawa pulang makna sujud dan air mata yang dulu tumpah di tanahmu.

Karena haji sejati bukan hanya tentang perjalanan ke Mekkah, tapi perjalanan pulang ke diri yang lebih bertaqwa. (*)

Amin, ya Rabbal ‘Alamiin.

Cak AT – Ahmadie Thaha
Ma’had Tadabbur al-Qur’an, 10/6/2025