Rosadi Jamani
Ketua Satupena Kalbar
HATIPENA.COM – Hamdan Ballal barangkali tidak pernah membayangkan ini. Ia hanya seorang sineas. Pekerjaannya merekam realitas. Bukan menantang maut. Bukan mencari musuh. Tapi apa yang ia dapat? Dipukuli. Diseret. Diculik. Oleh tangan-tangan yang merasa punya kuasa atas dunia. Ia menang Oscar. Tapi itu justru jadi masalah. Sebab kebenaran yang ia tunjukkan terlalu terang.
Mungkin itu salahnya. Mungkin ia terlalu percaya bahwa dunia akan peduli. Pagi itu, 24 Maret 2025. Matahari Palestina belum terlalu tinggi. Hamdan ada di desanya, Susya, Tepi Barat. Mungkin ia sedang menulis skenario. Mungkin ia sedang berpikir tentang film berikutnya. Atau mungkin, seperti warga Palestina lainnya, ia hanya sedang mencoba hidup. Tapi hidup sebagai orang Palestina bukan perkara mudah.
Mereka datang. Bukan tamu. Bukan utusan damai. Tapi pemukim. Yang tak pernah puas. Yang selalu ingin lebih. Mereka masuk ke desa seperti ombak yang siap menelan daratan. Mereka menerjang Hamdan. Memukulnya. Menyeretnya. Seperti sedang berhadapan dengan musuh besar. Padahal Hamdan tidak punya apa-apa. Tidak ada senjata. Tidak ada bom. Hanya tangan kosong dan kamera yang mungkin sudah remuk lebih dulu.
Lalu IDF datang. Bukan untuk menolong. Mereka mengambil alih. Menyeret Hamdan masuk ambulans. Tapi bukan untuk membawanya ke rumah sakit. Mereka membawanya ke tempat lain. Yang gelap. Yang tidak punya aturan. Yang tidak peduli pada manusia. Apa kejahatannya? Tidak ada. Atau mungkin ada. Ia orang Palestina.
Dan dunia? Dunia hanya menonton. Media internasional memberitakan. Tapi hanya sejenak. Sehari, dua hari. Lalu menghilang. Seperti banyak nama Palestina lainnya. Amnesty International mengecam. Organisasi hak asasi manusia berteriak. Tapi siapa yang peduli? Israel tidak pernah peduli. Amerika tidak akan menekan mereka. Uni Eropa akan menyebutnya “insiden yang menyedihkan” lalu melanjutkan perdagangan senjata.
Netanyahu tidak akan bicara soal ini. Ia terlalu sibuk dengan propagandanya. Ia lebih suka bicara soal bayi yang dipenggal. Tentang teror yang datang dari Palestina. Ia tahu, ketakutan lebih kuat dari kebenaran. Ia tahu, cukup dengan satu kalimat, dunia akan melupakan Hamdan Ballal. Akan melupakan Palestina.
Pada Oktober 2023, Netanyahu mengklaim Hamas telah memenggal bayi dan memperkosa wanita Israel. Tapi mana buktinya? Tidak ada. Tetap saja, media-media besar menelan mentah-mentah. Tak ada investigasi independen. Tak ada verifikasi. Narasi sudah terbentuk. Palestina adalah teroris. Israel adalah korban.
Dan dunia? Dunia akan percaya. Seperti biasa. Mereka tidak akan bertanya, mana buktinya? Mereka tidak akan berpikir, apakah ini masuk akal? Mereka hanya akan ikut arus. Mengutuk Palestina. Mengutuk perlawanan. Sambil diam-diam membiarkan penjajahan terus berjalan.
PBB? Akan mengeluarkan resolusi. Israel akan mengabaikannya. Amerika akan memvetonya. Siklus berulang. Tahun demi tahun. Dekade demi dekade. Sementara itu, tanah Palestina semakin kecil. Rumah-rumah dihancurkan. Ladang-ladang dirampas. Anak-anak dibunuh. Dunia melihat, tapi memilih buta.
Sementara itu, di sel gelap entah di mana, Hamdan Ballal mungkin sedang diinterogasi. Dipaksa mengaku sesuatu yang tidak ia lakukan. Ditahan tanpa pengadilan. Ia bukan yang pertama. Dan ia tidak akan jadi yang terakhir.
Lalu, apa yang tersisa? Hanya reruntuhan. Hanya debu. Hanya darah yang semakin banyak meresap ke tanah yang sama. Hamdan Ballal mungkin tidak akan jadi berita utama besok pagi. Ia mungkin hanya akan jadi angka. Satu lagi orang Palestina yang dihilangkan. Tapi dunia harus tahu.
Bahwa ini bukan pertama kali. Ini tidak akan jadi yang terakhir. (*)
#camanewak