Catatan Kaki; Rizal Pandiya
Penggiat Literasi/ Sekretaris Satupena Lampung
HATIPENA.COM – Mungkin ini tanda perpisahan yang paling manis dari Riski Sofyan,S.STP.,MSi. Karena ketika peserta bimbingan teknis menulis buku ini dimulai, Pak Riski memberi sambutan. Namun ketika buku ini terbit, ia telah menjadi kepala Dinas Lingkungan Hidup Provinsi Lampung. Sebuah kenangan manis yang membuat para penulisnya tersenyum haru. Kadang hidup memang seperti buku: halamannya berganti, tetapi isinya harus tetap dibaca dengan hati gembira.
Nah, buku yang berjudul “Menelisik Lampung” (Antologi Karya Sastra 60 Penulis Lampung) ini terbit dari hasil pelatihan menulis di bawah binaan Kepala Dinas Perpustakaan dan Kearsipan Provinsi Lampung saat ini Dr. fitrianita Damhuri, S.STP.,MSi.
Tapi jangan buru-buru membayangkan suasananya seperti kuliah yang menjemukan dengan dosen kaku dan bawel, memanggil peserta satu persatu. Pelatihan ini malah sebuah pertemuan yang hangat antara pelajar, mahasiswa, dosen, guru, seniman, dan penggiat literasi yang sama-sama memiliki semangat membangun literasi demi Lampung tercinta, dalam bimbingan teknis kepenulisan dengan konten berbasis budaya lokal.
Dari situ lalu muncullah beragam tulisan dengan aneka rasa dan aroma khas Lampung. Ada yang menulis cerpen, puisi sampai esai yang aromanya bagai kopi Robusta Lampung Barat – pekat, sedikit getir, tetapi hangat.
Mohammad Medani Bahagianda, misalnya, ia menulis esai yang penuh keresahan, gundah gulana tentang budaya Lampung yang kian terpinggirkan. Ia mencermati sejumlah faktor yang membuat adat istiadat makin tersisih. Penyebabnya banyak, mulai dari minimnya dukungan, terutama regulasi dan anggaran dari pemerintah, sampai dengan munculnya stigma negatif bahwa adat itu sudah kuno dan membuat malu. Padahal, jika bukan kita yang ngelampungkan, lalu siapa lagi? Masak iya menunggu orang Betawi yang jaga rasa seruit agar tetap nikmat?
Lalu ada Dian Kartika Dewi, yang menulis cerpen berjudul “Seruit Ayah di Ujung Kenangan.” Cerita ini membuat pembaca menjadi lapar sekaligus sedih. Febri, tokoh utamanya, menyesal karena gagal memenuhi keinginan terakhir ayahnya untuk membuatkan sambal seruit. Karena di tangan Febri, seruit itu bukan sekadar pendamping lauk makan, tetapi sebagai simbol penyesalan, cinta, dan kenangan. Usai membaca cerpennya, boleh jadi para pembaca akan langsung menelpon ayahnya seraya berkata, “Ayah, yuk kita makan seruit bareng dulu, sebelum terlambat!”
Tak hanya sampai di situ. Ada juga Fariz Hidayatullah dengan goresan puisinya “Kupi Halom” (artinya kopi hitam). Ia memotret keteguhan dan kesederhanaan hidup orang Lampung: meski pahit tapi bikin semangat jiwa. Ada lagi Dira Saputra melalui “Benang Emas Lampung”, yang merajut kisah perempuan Lampung sekuat dan seindah kain tapis.
Lalu ada juga Devin Cumbuan Putri dengan “Sanak Aghuk”-nya. Ia menulis tentang sebuah nilai persaudaraan yang mulai langka di era digital yang tak ada lagi tegur sapa basa basi. Bagai anak terbuang, tak ada lagi suara, “Sudah makan belum kamu?”
Belum lagi Salwa Pramesti Maharani yang menulis puisi “Seruit” sebuah lambang kebersamaan, “Aku tanpamu serupa seruit tanpa ikan.” Dan Hendri Firmansyah lewat “Panaragan” yang membawa kita ke rimba dan aliran Sungai Way Kanan, “Ia bukan sekadar tanah, bukan hanya kampung, ia pusaka, saksi perjalanan agung.”
Semuanya bagai sehelai benang berwarna-warni dalam lembaran kain tapis. Berbeda-beda motif, tapi kalau dirajut dengan penuh cinta, jadilah karya yang sangat indah.
Buku Menelisik Lampung ini menghimpun sebanyak 60 penulis dari bermacam latar belakang. Ada yang sudah berpengalaman, ada pula yang masih junior bahkan ada yang baru pertama kali menulis. Dan kelompok yang terakhir ini tentu saja deg-deg ser menunggu tulisannya “dicincang” oleh editor, yang nampaknya kedodoran. Bisa saja karena buku ini dikejar deadline, sehingga proses editing buku ini menjadi acak-acakan.
Tapi di sinilah letak indahannya menjalani sebuah proses, karena setiap tulisan memiliki nilai kejujuran yang sama, menjaga budaya supaya tak punah di tengah serangan dan gempuran dunia digital, tempat dimana para gen-z lebih hafal nama pemain drama korea ketimbang nama tari Sigeh Pengunten.
Sejatinya, budaya Lampung kaya makna dan warna, adat istiadat, bahasa, kuliner, kesenian, sampai falsafah hidup yang sangat dalam. Melalui buku ini, pembaca setidaknya diajak menelusuri sebagian itu dengan cara yang sangat ringan tetapi renyah, lucu, dan kadang bisa membuat tersenyum.
Tujuannya sederhana saja tapi mulia, yaitu mengapi-apikan lagi semangat menulis mengenai budaya Lampung, baik dalam bentuk cerpen, esai, maupun puisi. Mana tahu, dari sini kemudian lahir Pramoedya Ananta Toer versi Pepadun atau Chairil Anwar rasa Saibatin – yang puisinya tak cuma dibaca, tetapi juga didiskusikan bareng sambil menikmati seruit.
Pelatihan ini juga bukan hanya acara untuk didokumentasikan belaka yang penuh dengan kata sambutan. Ia hadir sebagai bentuk upaya nyata guna memberdayakan budaya lokal dan merevitalisasi, melibatkan elemen masyarakat dan penggiat literasi agar turut pula menjaga dan rasa memiliki warisan leluhur. Sejatinya, budaya itu bukanlah merupakan benda mati yang dimuseumkan, melainkan sesuatu yang bisa hidup di dalam hati dan perilaku kita sehari-hari.
Bak kata pepatah Lampung, “Mak ganta kapan lagi, mak gham sapa lagi” (Kalau bukan sekarang kapan lagi, kalau bukan kita siapa lagi?). Maka pepatah itu seakan menjadi napas buku ini, semangat untuk berkarya, menulis, dan menebarkan pesona indahnya Tanah Lado ke seluruh negeri.
Bisa dibayangkan, jika saja setiap warga Lampung menulis satu kisah saja mengenai budayanya, maka dunia akan tahu bahwa selain kopi Robusta dan gajah Way Kambas, Lampung ternyata juga memiliki tawa, cinta dan filosofi kehidupan yang menyejukkan hati.
Maka, Menelisik Lampung ini bukan sekadar buku, melainkan simbol dan semangat literasi budaya di tanah Lampung Sai Bumi Ruwa Jurai. Karena menjaga budaya Lampung tidak harus melalui sebuah panggung nan megah, kadang cukup lewat satu alinea, satu puisi, satu esai, atau satu cerpen yang lahir dari tetesan tinta pena dengan cinta di kampung halaman.
Menulis itu seperti menanam bibit. Hari ini kita bisa jadi hanya menanam cerita tentang Lampung, esok mungkin anak cucu akan memetiknya sebagai kebanggaan. Dan siapa tahu, manakala dunia membaca Lampung, maka mereka akan ikut jatuh cinta juga seperti kita. (*)