HATIPENA.COM adalah portal sastra dan media untuk pengembangan literasi. Silakan kirim karya Anda ke Redaksi melalui pesan whatsapp ke 0812 1712 6600 ------ HATIPENA.COM adalah portal sastra dan media untuk pengembangan literasi. Silakan kirim karya Anda ke Redaksi melalui pesan whatsapp ke 0812 1712 6600 ------ HATIPENA.COM adalah portal sastra dan media untuk pengembangan literasi. Silakan kirim karya Anda ke Redaksi melalui pesan whatsapp ke 0812 1712 6600 ------ HATIPENA.COM adalah portal sastra dan media untuk pengembangan literasi. Silakan kirim karya Anda ke Redaksi melalui pesan whatsapp ke 0812 1712 6600 ------ HATIPENA.COM adalah portal sastra dan media untuk pengembangan literasi. Silakan kirim karya Anda ke Redaksi melalui pesan whatsapp ke 0812 1712 6600

Buku yang Tak Pernah Ditulis

June 24, 2025 15:56
file-LUQJF2Sf7uAMEMu7mGvZpf

Cerpen Rita Audriyanti

HATIPENA.COM – Percakapan di WAG Teman SMP ramai gara-gara postingan Erwin. Ia menanyakan siapa yang punya nomor kontak Farhan. “Manteman, kalau ada yang tau nomornya Farhan, japri ya.”

“Aku mau juga dong,” pinta Mariam.

“Cieee, Mariam… CLBK ya?“ respons Tini menggoda Mariam.

Mulailah terjadi bisik-bisik antar beberapa orang. Rupanya, Farhan, telah menjapri beberapa orang dalam “WAG Teman SMP” dengan maksud pinjam uang. Caranya seperti orang minum obat. Sehari bisa dua tiga kali japri, seolah Farhan dalam kondisi darurat. Erwin sudah dua kali mentransfer lalu beberapa hari kemudian Farhan minta bantuan lagi. Merasa ada yang kurang beres, Mariam mengajak teman-teman membahas masalah ini di rumahnya. Terjadilah pertemuan singkat sambil makan siang di rumah Mariam. Kesimpulannya, Mariam akan menghubungi Adila, istri Farhan, untuk mencari tahu ada masalah apa sebenarnya dengan Farhan.

“Maryam, tolong doakan saja Mas Farhan ya, agar bisa melewati ujian ini dengan selamat. Sekarang ia kami jauhi dari ponselnya. Biarlah urusan ini kami selesaikan secara internal saja sampai tuntas.” Hanya itu saja tenggapan Adila soal suaminya melalui pesan singkat kepada Mariam.

Tapi, Mariam punya feeling. Ia kenal betul tabiat Farhan sejak muda. Sepertinya, Farhan sedang terjebak urusan perempuan. Di masa pensiun ini, Farhan seperti dalam kejaran bayang-bayang yang tak mampu ia hindari. Sayangnya, Adila tidak terbuka dengan masalah yang menimpa suaminya.

“Manteman, masalah Farhan kita akhiri ya. Kalau ada yang masih mau bantu silakan langsung saja dengan yang bersangkutan. Case closed,” tulis Mariam di grup menutup kasus Farhan. Topik pembicaraan pun bergeser ke rencana grup jalan-jalan ke Yogyakarta.

Beberapa waktu kemudian, Mita menerima pesan dari Mariam.

“Mita, bisa ketemuan, gak? Tolongin aku dong,” pinta Mariam memelas dengan emoji orang menangis.

“Mariam, kamu kenapa?”

“Nanti aku cerita. Besok kita ketemu di Cafe Tebet jam sepuluh ya.”
Mita membalas dengan emoji dua jempol.

Hari Selasa pagi, pukul sepuluh, Mariam sudah menunggu Mita di Cafe. Ia sudah memesan secangkir kopi susu. Kemudian ia membuka ponsel, menunggu kabar Mita. Ada miscall. Tak lama, terdengan suara Mita. Mariam menoleh ke arah datangnya suara. Mita melambaikan tangan. Ia menyambut kedatangan sahabatnya, teman sebangku waktu SMP. Mereka berpelukan dan saling bertanya kabar.

Mariam memanggil waiter, memesan minuman buat Mita.

“Jadi, ada apa, nih, kamu ngundang aku ke sini pagi-pagi?” ucap Mita sambil memperbaiki posisi duduknya.

Mariam mendehem pelan. Wajahnya menunduk. Ia lama terdiam.

“Mariam… Ada apa?” Mita mulai merasa ada sesuatu yang serius. Tiba-tiba terjadi perubahan sikap dan mimik Mariam. Mariam menarik napas panjang. Matanya sendu menatap Mita.

“Mita, tolong aku ya,” suara Mariam pelan, bergetar. Mariam meraih tangan Mita.

“Hei, Mariam. Ada apa? Aku pasti bantu kamu jika aku bisa. Ayo bicaralah.”

Mariam mengusap tisu ke hidungnya lalu berkata, ”Mit, aku bisa merasakan apa yang sedang dirasakan Adila saat ini. Farhan bukan sedang dililit utang. Ia punya cukup uang pensiun. Bisnisnya banyak. Aku tau ia kelibet urusan perempuan. Dari zaman kerja dulu, memang ia sering didekati cewek-cewek.” Tiba-tiba Mariam membahas masalah Farhan yang pernah menjadi teman sekantor Mariam namun beda divisi ketika dulu mereka sama-sama belum pensiun.

Mendengar cerita pembuka dari Mariam, tentu saja Mita bingung.

“Kamu ngomong apa, sih? Katanya, kasus Farhan sudah selesai. Kok, sekarang dibahas lagi. Kamu….,” Mita berkata penuh tanya tanpa melanjutkan kalimatnya.

“Bukan. Bukan itu. Aku gada hubungan apa-apa dengan Farhan. Cuma…”

Kembali Mariam membuat teka teki yang membuat Mita semakin penasaran.

Ia melanjutkan. “Jadi, nasib aku gak beda dengan Adila. Aku juga diselingkuhi suamiku, Mamad.”

“Hah!?” Mita terbelalak.

“Bukan cuma itu, Mita. Suamiku juga kasar, main tangan,” ucap Mariam sambil menghapus air matanya.

Mita sejenak memperhatikan sekelilingnya, khawatir menjadi ada yang memperhatikan.

“Tunggu-tunggu, Mariam. Pelan-pelan. Coba ceritakan apa yang sebenarnya terjadi denganmu?”

Mariam mulai bercerita dengan tenang kronologis kejadian demi kejadian yang menimpanya sejak mereka berkeluarga. Mamad adalah laki-laki pilihan Mariam. Mereka berjumpa dalam sebuah acara pertetanggaan. Sejak pandangan pertama, mereka jatuh cinta. Satu tahun kemudian, keduanya serius menuju jenjang perkawinan. Semuanya berjalan baik-baik saja. Mariam senang punya suami gagah, ketua pengurus salah satu organisasi bisnis nasional.

Ketika terjadi pergantian pengurus, Mamad tidak lagi terpilih. Ia sangat terpukul. Beruntung Mariam sudah bekerja sebagai pegawai tetap di sebuah BUMN. Mariam makin maju kariernya dan banyak menghasilkan uang karena ia pandai memutarkan uang dengan bisnis yang dikelolanya sendiri, seperti membuat kos-kosan dan membuka warung kelontong. Ia juga sering mendapat kesempatan menjadi broker, menyediakan alat-alat perkantoran. Mamad yang terus terpuruk lebih banyak tinggal di rumah, mengurus ketiga putra putrinya.

Posisi ekonomi Mariam dan Mamad yang semakin menganga lebar ini, mulai membuat Mamad merasa makin tertinggal.

“Mam, Minggu besok bisa gak kita ke Cirebon?” pinta Mamad tiba-tiba.

Mariam yang sedang banyak tugas, menolak secara halus permintaan suaminya.

“Ya sudah. Kalau Mam tidak bisa, izin ya aku ajak si Uwen,”

Si Uwen? Kenapa Mamad tiba-tiba menyebut nama mantan ART? Timbul kecurigaan Mariam.

Mariam membuang pandangannya jauh ke depan. Seperti menatap sesuatu di depannya. Mita mengamati serius.

“Emangnya si Uwen itu perlu kamu curigai?” tanya Mita menduga-duga.

Mariam menunduk pelan. Lama ia terdiam. Mita menyeruput minumannya sambil menunggu jawaban Mariam.

“Iya, Mita. Aku pernah memergoki mereka berdua di kamar lantai atas. Mereka ketangkap basah dan aku marah besar. Bukannya maaf yang kuterima, malah aku dihajar Mamad babak belur. Dan perempuan sialan itu pun kabur.” Mariam berkata dengan nada datar tanpa air mata lagi. Mita menarik tubuhnya mundur, bersandar ke kursi.

Kisah Mariam terus bergulir hingga pengunjung cafe makin ramai. Ini saatnya jam makan siang. Untung mereka mengambil posisi di sudut sehingga tidak mengganggu yang lain.

“Mita, kamu makan ya. Pesan saja apa yang kamu mau.”

Mita memesan Nasi Goreng. Mariam rupanya sedang tidak berselera. Ia hanya minta tambah kopi. Cerita pun berlanjut.

Setelah kasus Uwen itu, datang lagi kasus-kasus berikutnya. Ada yang kembali dengan ART, ada dengan tetangga. Dan, semua peristiwa tersebut selalu sampai ke telinga Mariam. Bahkan ia juga kembali menyaksikan dengan mata kepala sendiri.

Tidak tahan dengan penderitaan ini, akhirnya ia membicarakan masalah ini kepada anak sulungnya.

“Makanya Mama, sih, melawan sama Papa. Ngalah aja, Ma,” pinta putrinya. Anak-anak Mariam bukan tidak tahu dengan apa yang terjadi dengan kedua orang tuanya. Mamad sering mengeluh kepada anak-anaknya. Ia merasa diremehkan karena Mariam lebih mapan dan punya banyak uang. Lelaki dengan suara lebut ini sudah berupaya ke sana ke mari mencari pekerjaan, tetapi selalu hasilnya pas-pasan. Pertemuan di cafe hari itu berakhir pukul tiga.

“Mita, bisa gak minggu depan kita ketemu lagi? Ini belum selesai,” pinta Mariam memohon. Mita mengangguk sambil memeluk sahabatnya ini dengan erat.

Malam itu, Mariam bisa tidur dengan nyenyak. Ia tidak perlu lagi dibantu obat tidur. Ada rasa plong di dadanya.

Hari Minggu, “WAG Teman SMP” mengadakan pertemuan Arisan di rumah Mariam. Mita dan suaminya ikut hadir. Suasana meriah dan penuh canda tawa ulah gurauan Mariam dan Mamad. Mita tidak melihat ada yang ganjil dengan pasangan ini. Mereka tampak bahagia dan gembira. Kondisi ini menimbulkan tanda tanya di hati Mita, ada apa sebenarnya.

Rabu siang, Mariam dan Mita berjumpa lagi di cafe yang sama. Mariam kembali melanjutkan ceritanya.

“Mariam, kalau sampai kondisinya seperti ini, kenapa kamu gak mengajukan cerai saja?”

Lama Mariam terdiam. Mita menunggu reaksi Mariam.

“Demi anak-anak, Mita. Sampai kapan pun aku tidak akan minta cerai. Biarlah derita ini kutanggung sendiri. Apalagi anak-anak, mereka tetap menyalahkan aku, terlalu sibuk di luar rumah. Mereka lupa bahwa kuliah perlu uang. Apa bapaknya peduli?” ucap Mariam sambil menunjukan warna biru legam di tangannya. Mita mengaduh, merasakan sakitnya perbuatan Mamad.

“By the way, apa keluargamu tau masalah ini?”

“Hanya kakakku yang tau.”

“Apa sarannya?”
“Sama seperti kamu, aku diminta pisah.”

Mita terdiam. Ia berusaha berpikir keras mencari jalan keluar apa lagi yang bisa masuk akal Mariam.

“Jadi, apa yang bisa kubantu?” tanya Mita dengan suara pelan sambil memegang kedua tangan Mariam.

Mariam kembali tertunduk. Lama-lama tubuhnya berguncang. Air matanya deras mengalir di pipi. Mita menjulurkan tisu ke tangan sahabatnya ini, lalu bangkit menghampiri dan memeluk erat Mariam sambil mengusap-usap punggung sahabatnya tanpa kata. Tangis Mariam makin pecah. Beberapa pengunjung cafe menoleh ke arah mereka. Mita kembali duduk.

Setelah reda, Mariam berkata pelan. “Mita, bantulah aku,” ucap Mariam memohon lagi.

Mita mengangguk berulangkali, “Pasti. Aku akan bantu kamu sekuat tenagaku.”

“Maukah kamu menuliskan kisahku ini ke dalam sebuah buku? Nanti aku ganti semua biayanya,” pinta Mariam mengejutkan.

“Lho, untuk apa kamu tulis, Mariam?” ucap Mita penasaran.

Mariam memperbaiki posisi duduknya. Ia menarik napas dalam kemudian berkata, “Jika menjelang ajalku tiba nanti, buku ini akan aku berikan satu persatu kepada ketiga anakku. Biarlah mereka mengetahui apa yang sebenarnya terjadi selama ini. Sampai hari ini, tetap aku yang salah di mata mereka semua. Tidak ada yang membela aku kecuali kakakku.”

Mita maupun Mariam, keduanya terdiam. Mariam merasa dadanya lebih ringan sedangkan Mita justru dadanya menjadi berat, memikirkan solusi permasalahan sahabatnya ini. Mita juga masih tidak begitu yakin dengan apa yang dilihatnya. Mariam merasa telah mendapat penganiayaan fisik, verbal dan mental sepanjang usia perkawinannya, sementara Mita tidak pernah menyaksikan hal-hal mencurigakan itu terjadi. Pasangan Mamad dan Mariam ini cukup aktif secara sosial. Tidak pernah terlihat mereka bermuka masam atau sedih di hadapan teman-temannya. Siapa sangka ternyata ada begitu besarnya masalah yang sedang mereka hadapi.

“Mariam, begini saja. Aku tentunya mau membantu kamu menuliskan kisah pahit hidupmu.” Mariam mengangkat wajahnya. Ia mulai tersenyum kecil.

“Tapi, apa kamu yakin bahwa inilah solusi terbaik?” tanya Mita sambil menatap mata Mariam dalam-dalam. Mariam mengangguk pelan.

“Ya. Inilah cara terbaik yang kupunya. Biar anak-anakku sadar sahwa semua perjuangan keras ini kulakukan demi mereka. Demi masa depan mereka yang lebih baik.” Suara Mariam bergetar.

Ketiga putra putri Mariam sudah tamat kuliah dan bekerja sesuai bidangnya. Dua orang sudah berumah tangga, tinggal si bungsu yang masih mencari pekerjaan.

Sebelum meninggalkan cafe, tiba-tiba Mita berkata, “Mariam, menurutku, kamu bukan butuh penulis, deh. Kamu dan Mamad perlu pihak ketiga, profesional, untuk memecahkan masalah kalian.” Mariam mengernyitkan keningnya.

Mita melanjutkan, “Kalau benar kisah hidupmu seperti yang kamu ceritakan, khususnya kamu Mariam, sudah sangat darurat memerlukan bantuan. Bahaya kalau abai,” ujar Mita membuat Mariam menatapnya lebih dalam lagi.

“Mau aku carikan psikolog atau penasihat perkawinan?”

Mariam menggeleng pelan. Dilipatnya kedua lengannya di atas dada. Matanya mulai berkaca-kaca.

“Aku sudah tidak punya harapan lagi, Mit. Biarlah kujalani masa menua ini hingga ajal menjemput. Aku akan tetap bertahan sesuai harapan anak-anak yang ingin aku tetap bersama bapaknya. Itu saja!”

Pertemuan hari itu masih berakhir dengan teka teki, hendak dibawa kemana perkawinan Mariam ini. Mita sebagai pendengar merasa perlu juga mendengar dari sisi Mamad. Tapi ia tidak punya keberanian masuk terlalu jauh. Sebagai penulis ia hanya mampu menangkap kisah dan merasakan derita Mariam.

Dua hari kemudian, Mita menerima kiriman video dari Mariam.

“Ya Allah, Mariaaaam…!” Mita berteriak dengan tangan gemetar menyaksikan rekaman CCTV berisi pertengkaran. Di video itu, tampak Mamad memukul bertubi-tubi wajah Mariam. Mariam bangkit dengan wajah berlumuran darah.

Mita segera menelpon Mariam. Tidak diangkat. Ia mencoba lagi berulang kali. Nihil. Mita sudah menghubungi seorang penasihat perkawinan untuk membantu Mariam. Mariam sudah sepakat dengan jadual pertemuan pertama.

Dua hari kemudian, saat Mita terbangun dini hari, ia menggeliat. Kemudian ia meraih ponsel dari meja di sisi tempat tidurnya. Mita membaca pesan di grup WAG Teman SMP

“Innalilahi wainnailaihi rojiun. Semoga Mariam tenang di sisi-Nya.”

“Apa?!” Mita menjerit sambil menoleh ke arah suaminya yang tidur nyenyak dan tenang dengan memeluk guling.(*)