HATIPENA.COM adalah portal sastra dan media untuk pengembangan literasi. Silakan kirim karya Anda ke Redaksi melalui pesan whatsapp ke 0812 1712 6600 ------ HATIPENA.COM adalah portal sastra dan media untuk pengembangan literasi. Silakan kirim karya Anda ke Redaksi melalui pesan whatsapp ke 0812 1712 6600 ------ HATIPENA.COM adalah portal sastra dan media untuk pengembangan literasi. Silakan kirim karya Anda ke Redaksi melalui pesan whatsapp ke 0812 1712 6600 ------ HATIPENA.COM adalah portal sastra dan media untuk pengembangan literasi. Silakan kirim karya Anda ke Redaksi melalui pesan whatsapp ke 0812 1712 6600 ------ HATIPENA.COM adalah portal sastra dan media untuk pengembangan literasi. Silakan kirim karya Anda ke Redaksi melalui pesan whatsapp ke 0812 1712 6600

Agama dan Ramuan Isi Puisi Kita

October 6, 2025 16:46
IMG-20251006-WA0061

Oleh Anto Narasoma

HATIPENA.COM – ADA pernyataan baik, jika kami tidak mampu membangun dan meraih hal terbaik bagi agamamu, sebaliknya tidak ikut berdiri di barisan para perusak agama (Imam Syafi’i).

Memang kalimat ini mengandung nilai kebaikan bagi kita semua. Karena pada hakikatnya, agama yang kita yakini itu merupakan bengkel tempat menempa kepribadian agamis.

Dalam artian harfiah, pemeluk agama itu pada hakikatnya untuk memperbaiki akhlak, mentalitas, serta membangun wawasan yang baik dan terarah.

Sebelum agama (Islam) berkembang dan dipeluk masyarakat dunia, Rasulullah mengajarkan akhlak dan perilaku terpuji. Bahkan orang yang membenci Rasul, sangat memuji perilakunya.

Karena itu akhlak dan perilaku yang baik merupakan landasan dasar paling esensial untuk menegakkan nilai-nilai agama.

Sebenarnya, agama adalah sarana atau alat. Satu alat yang digunakan untuk membentuk perilaku disukai semua (banyak) orang.

Ada dua sasaran pembentukan yang dituju seseorang ketika memeluk satu agama. Pertama pembentuk akhlak dan perilaku agar selalu berada dalam kebaikan dan kebenaran.

Tujuan kedua, mencerdaskan wawasan (akal dan pikiran) serta perilaku. Jika kedua aspek ini telah menyatu dalam kehidupan, maka yang kita rasakan adalah bentuk-bentuk kebaikan.

Dari bentuk kebaikan itulah kita menghamba. Menghamba ke pada Sang Mahakuasa, Tuhan Seru Sekalian Alam.

Tak ada corak hidup yang paling baik selain memasrahkan diri pada kebaikan. Sebab pola-pola seperti ini akan memberi kontribusi yang sangat baik bagi segala umat.

Karena jiwa ini sudah terbentuk untuk melakukan kebaikan, maka hal paling baik dilakukan ialah membangun kebaikan di segala lini kehidupan.

Aspek inilah yang menjadi sasaran utama bagi para agamawan. Karena nilai kebaikan yang dikejar umat beragama adalah menciptakan nilai. Nilai inilah yang dikejar agar sistem kehidupan menjadi kondusif.

Dalam Al-Quran, ada disebutkan “Wamma kholaktul jinna wal insya Ila liyak buduun“. Artinya, tidak kuciptakan jin dan manusia, semata-mata untuk mengabdi ke pada-Ku.

Lantas pengabdian seperti apa yang harus kita lakukan? Pertanyaan ini memang cukup menusuk ke alam pikiran kita. Sebab apakah membantu dan memberi bantuan kepada orang yang membutuhkan itu adalah satu kebaikan?

Jawabnya, belum tentu. Kita harus dapat merunut kebaikan yang diperbuat oleh seseorang. Apabila bantuan dan pemberian itu dilakukan semata-mata untuk meringankan penderitaan seseorang karena Allah SWT, maka nilai inilah yang dapat menjadi arahan kebaikan.

Sebaliknya, apabila ada seseorang yang melakukan sesuatu karena minta dilihat dan dikatakan orang baik, maka kebaikan itu menjadi bias.

Selain tidak membangun keikhlasan, sikap seperti ini justru dapat menciptakan kesombongan dan mengharap pujian orang lain.

Secara prinsif, agama telah membungkus diri kita agar mampu memahami kebaikan tanpa meminta untuk dikatakan sebagai orang baik.

Terutama, ketika kita membaca dan mencoba memahami anjuran kebaikan, maka nilai pengajaran seperti ini adalah nilai yang kita kejar setiap terjaga (terbangun) dari tidur.

Karena itu, setiap kali kita tidur pada malam hari, dan terjaga karena matahari telah membuka hari, prinsip kebaikan itu akan tetap menjadi dambaan siapa pun.

Begitu mulianya prinsip ajaran agama. Karena pengajaran itu akan menyentuh akhlak dan kepribadian kita serta mampu mencerdaskan pikiran.

Karena itu apabila kita tidak memiliki dasar untuk memahami agama sebagai alat untuk memperbaiki moral dan perilaku, ada baiknya tidak berada di barisan orang tak beragama.

Sebaik apa pun orang tidak beragama, maka nilai egosentrisnya akan berada di depan. Bahkan upaya yang ia lakukan adalah, minta dikatakan sebagai orang baik.

Kesemuan seperti ini sangat menyesatkan kita, karena agama, terutama Islam, mengajarkan kita untuk selalu berperang melawan egosentris. Dengan demikian kita dapat menurunkan ketinggian egosentris, agar nilai kesadaran dapat menyadarkam kita sebagai manusia papah dan tak memiliki daya kekuatan apa pun.

Penyair Pelembang, H Zainal Abidin Hanif, mengatakan agama tak sekadar dijadikan sarana untuk membangun akhlak dan kepribadian yang luhur, tapi agama juga mampu memberikan tafsiran sastra (puisi) lewat baik buruknya kepribadian manusia sebelum dan sesudah mereka mampu menelaah dan memberikan nilai bagi sikap kemanusiaan mereka.

“Baik buruk sikap manusia muncul dari dalam jiwanya masing-masing. Namun bagi mereka yang sudah memahami nilai kepribadiannya sendiri, maka segala lapisan akhlaknya bisa dijadikan standar ilmu sastra untuk ditulis menjadi puisi,” ujar Zainal Abidin Hanif, sastrawan yang kali pertama menghidupkan literasi di RRI Stasiun Palembang.

Memang, sastra mampu memasuki lapisan kalimat Ilahiyah (Al-Quran), sepanjang kita mampu mempelajari nilai-nilai moral dari diri kita sendiri.

Dari ujar-ujar serta uraian tafsir di dalam Hadist Rasulullah SAW, banyak hal yang dapat ditangkap secara esensial, sehingga kerak-kerak persoalan kehidupan dapat ditulis menjadi esai sastra dan rangkaian kalimat puisi.

Sastra puisi dapat dimanfaatkan untuk menampung perkembangan masalah yang muncul dari perilaku dan kehidupan manusia dan alam sekitarnya.

Sebab, sepanjang ada upaya dari seseorang untuk belajar memperbaiki jiwa dan sikap hidupnya, sehari-hari, maka tawaran masalah yang muncul akan dijadikan momentum kejiwaan dan falsafah bagi kekayaan masalah puisi.

Memang, dalam perkembangan sastra di sekitar kehidupan kita, hal-hal baru (ekstrinsik) yang muncul, secara esensi dapat diramu menjadi persoalan dalam jabaran puisi.

Itu artinya, secara tematik, segala perilaku dapat dianalisis untuk dijadikan lapis tema ketika kita menulis puisi. Paling tidak, kemungkinan puisi yang kita tulis itu dapat ditampilkan menjadi karya dengan warna (khas) pribadi.

Setidaknya, stilistik kepribadian kita akan memperlihatkan gaya dan warna khas yang ditimbulkan. Jadi, pernyataan ketatabahasaan memegang peranan penting dalam membangun gaya (warna) khas secara pribadi.

Apabila dalam keagamaan (Islam) yang kita anut sudah kadung melekat ke dalam tempramen kehidupan kita, maka pola puisi yang kita tulis dapat memperlihatkan kedalaman isi dengan unsur yang beretika Islami.

Jadi, secara efonik, dalam mencipta unsur sastra, akan dapat dirasakan dari nilai-nilai kebahasaan yang kuat dan berdedikasi keagamaan.

Dalam hubungan ini, unsur kejiwaan akan dapat dijadikan upaya bagi pendekatan kejiwaan dan pendekatan falsafah, sehingga secara ekstrinsik segala persoalan yang muncul dalam kaitan psikologis akan mampu membangun sentuhan nilai intrinsik bagi sang penyair.

Dikotomi semacam ini memang dapat membangun keinginan pembaca untuk menelaah sastra (puisi) lewat sentuhan hakikat dan metode puitikal.

Maka unsur agama yang dijadikan metode pembelajaran akhlak, mampu disandingkan dengan komponen sastra puisi yang memiliki landasan rasa (feeling), unsur tema atau lebih dikenal dengan unsur arti (sense), unsur nada (tone), dan nilai-nilai intensi (tujuan puisi).

Karena itu tidak heran apabila banyak penyair yang menulis puisi secara tersamar, sehingga pembca dituntut untuk lebih kreatif menangkap nilai arti yang dikemukakan penyair. (*)

  • Penulis adalah penyair, wartawan, dan pekerja teater Palembang
    9 Agustus 2025