Rosadi Jamani
Ketua Satupena Kalbar
HATIPENA.COM – Langit Cirebon malam itu mendadak kayak lampu disko kampung, terang, panas, terus Boom! Ada dentuman sekeras hati mantan yang gak bisa move on. Warga kaget. Ada yang lari ke luar rumah pakai sarung, ada yang langsung kirim video ke grup WA keluarga dengan caption, “Bismillah, kiamat dimulai dari Cirebon.”
“Ade-ade jak,” kata budak Pontianak. Serius ada meteor? Ya, seriuslah. Mari kita kupas sambil seruput kopi tanpa gula, wak.
Kata BRIN, itu cuma meteor. Ya, cuma batu luar angkasa seberat ribuan ton yang jatuh dengan kecepatan 60.000 km/jam, bikin gelombang kejut setara bom mini. Cuma, katanya.
Sekitar pukul 18.35 WIB, bola api melintas dari arah barat daya, menyeberangi langit Kuningan ke Cirebon, terus byarrr! masuk Laut Jawa sekitar 18.39.12 WIB. BMKG sempat mendeteksi getaran kecil, kira-kira selevel gemetar pas baca tagihan listrik. Dentuman itu bukan petir, bukan pesawat jatuh, apalagi jin marah, tapi shock wave dari meteor yang masuk terlalu cepat ke atmosfer. Untungnya jatuh di laut, bukan di daratan. Kalau di darat, mungkin sekarang Cirebon tinggal jadi nama kenangan di Google Maps.
BRIN lewat Prof. Thomas Djamaluddin menjelaskan dengan kalem, “Fenomena alam biasa.” Ya, biasa bagi dia yang sudah makan galaksi buat sarapan. Tapi bagi warga Lemahabang, Gebang, sampai Palimanan, itu luar biasa. Bayangin, lagi ngopi santai, tiba-tiba langit pecah kayak film Marvel low budget.
Fenomena meteor ini bukan hal baru. Tahun 1908, di Tunguska, Siberia, meteor seberat 100 ribu ton meledak di udara, menumbangkan 80 juta pohon dalam sekejap. Alam Rusia berubah jadi hair dryer raksasa. Tahun 2013, Chelyabinsk kena meteor juga, energinya 500 kiloton TNT, kaca ribuan rumah pecah, warga Rusia update video ke YouTube sambil bilang, “Oh, just another Monday.” Nah, yang di Cirebon ini mungkin versi lite-nya. Alam kasih spoiler, “Kau pikir dunia ini milikmu semua, padahal aku cuma batuk kecil aja, bro.”
Tapi masyarakat Nusantara memang kreatif. Ada yang yakin meteor itu bukan batu biasa, melainkan “utusan langit” buat menegur manusia yang lupa bayar zakat. Ada juga yang bilang itu “tanda Wali Songo lagi update firmware.” Tak ketinggalan teori paling nasionalis, “Jangan-jangan itu satelit negara tetangga jatuh karena iri sama kita.” Teori konspirasi memang lebih enak dari kopi susu, bikin deg-degan dan bikin lupa logika.
Sebenarnya meteor itu cuma sisa-sisa debu kosmik yang nyasar ke atmosfer bumi. Tapi cara dia datang, cahaya menyilaukan, ledakan mengguncang, suara memecah malam, itu seperti Tuhan sedang iseng bikin efek spesial gratis. Setiap kali ada meteor jatuh, sains sibuk mencatat data, rakyat sibuk merekam video vertikal, dan para ustaz sibuk menafsirkan makna spiritualnya. Dunia bekerja dalam harmoni yang lucu: fakta, iman, dan konten.
Lucunya lagi, manusia baru sadar betapa kecilnya mereka setiap kali langit marah sedikit. Batu dari luar angkasa lewat saja sudah bikin trending di X. Padahal di luar sana, miliaran batu lain sedang meluncur tanpa peduli apakah kita sudah bayar pajak bumi atau belum.
Kalau besok malam langit Cirebon nyala lagi, santai saja. Jangan langsung panik atau bikin hashtag #MeteorKiAmat. Mungkin itu cuma tamu kosmik yang tersesat karena Google Maps galaksi-nya ngaco. Toh, dalam hidup ini, kadang kita juga kayak meteor: meluncur cepat, bikin heboh, lalu lenyap di udara, meninggalkan jejak singkat tapi dramatis.
Siapa tahu, di antara batu-batu langit itu, ada satu yang sedang menunggu giliran… buat nyenggol sedikit aja kota sebelah. Jangan lupa tengadah. Langit sedang nulis status, dan Cirebon, seperti biasa, jadi tempat favoritnya buat viral. (*)
#camanewak
Foto AI, hanya ilustrasi.