Oleh Gunawan Trihantoro
(Sekretaris Kreator Era AI Provinsi Jawa Tengah)
HATIPENA.COM – Langkah Blora mengukuhkan sepuluh desa organik bukan sekadar seremoni.
Ini adalah pernyataan sikap terhadap masa depan pertanian yang lebih sehat dan berkelanjutan.
Krisis ekologi akibat pertanian kimiawi sudah terlalu lama kita rasakan.
Tanah kehilangan kesuburan, air terkontaminasi, dan petani kian tergantung pada produk pabrik.
Kini, dengan pendekatan organik, harapan itu tumbuh kembali dari desa-desa kecil.
Dari Jepon, Kedungtuban, hingga Bogorejo, Blora memulai gerakan akar rumput yang penuh makna.
Belum lama ini, sepuluh desa organik telah resmi dikukuhkan oleh Pemkab Blora.
Ini bukanlah akhir, melainkan awal dari transformasi hijau yang lebih luas.
Gerakan Sejuta Kotak Umat menjadi mesin utama penggerak inisiatif ini.
Mengolah limbah kotoran sapi menjadi pupuk organik, program ini mempertemukan ekologi dan ekonomi.
Dampaknya terasa nyata di lahan pertanian.
Tanah yang semula keras dan rusak kini mulai pulih dan kembali bernapas.
Kemandirian pupuk pun dicapai, mengurangi ketergantungan pada distribusi pupuk bersubsidi.
Ini menjadikan petani lebih tangguh dalam menghadapi dinamika harga dan pasokan.
Dua kelompok tani bahkan telah bersertifikasi organik dari Lembaga Sertifikasi Organik Seloliman.
Kualitas beras mereka tidak hanya sehat, tetapi juga bernilai jual tinggi.
Langkah Blora ini pun tak sendirian.
Universitas Sebelas Maret (UNS) Solo turut menggandeng petani dalam pendampingan berkelanjutan.
Dari sini kita belajar, pertanian organik bukanlah utopia.
Ia butuh dukungan ilmiah, pendampingan teknologi, dan kolaborasi lintas sektor.
Desa Tempellemahbang jadi studi kasus yang menarik.
Jeruk organik yang ditanam warga tak hanya menjadi komoditas, tapi juga daya tarik wisata.
Pertanian dan pariwisata bertemu dalam harmoni keberlanjutan.
Warga tak hanya jadi petani, tapi juga pelaku ekonomi kreatif desa.
Apa yang dilakukan Blora sangat strategis di tengah meningkatnya permintaan pasar akan produk organik.
Diaspora dari kota-kota besar bahkan mulai melirik beras Blora untuk konsumsi sehat keluarga mereka.
Hal ini menandakan peluang besar: organik bukan hanya gaya hidup, tapi tren pasar masa depan.
Petani Blora yang bertani secara organik kini bukan lagi tertinggal, tapi justru terdepan.
Pemerintah daerah pun cermat dengan mendorong Dana Desa dialokasikan untuk demplot organik.
Dengan pendekatan ini, desa tidak hanya menjadi objek pembangunan, tapi subjek perubahan.
Yang menarik, kebijakan ini tidak memaksa.
Ia berbasis kesadaran dan keinginan warga untuk hidup lebih sehat dan produktif.
Kesehatan lingkungan pun menjadi efek ikutan yang sangat positif.
Tanah terhindar dari logam berat, dan air tidak lagi tercemar limbah pestisida.
Langkah Blora patut menjadi percontohan nasional.
Kita butuh lebih banyak desa yang memilih jalan hijau, bukan jalan instan.
Pemerintah pusat pun sebaiknya melihat ini sebagai peluang nasional.
Revitalisasi pertanian Indonesia bisa dimulai dari desa-desa kecil seperti di Blora.
Bayangkan jika setiap kabupaten memiliki sepuluh desa organik.
Maka dalam waktu singkat, Indonesia akan memiliki ribuan desa sehat dan mandiri.
Ini bukan sekadar mimpi, tapi peta jalan yang sudah mulai disusun dan dibuktikan Blora.
Peta yang menunjukkan bahwa keberlanjutan dimulai dari kebijakan yang berpihak dan berpijak pada rakyat.
Tulisan ini bukan sekadar pujian kosong.
Melainkan ajakan agar desa-desa lain ikut menanamkan nilai hijau di ladangnya sendiri.
Karena dari tanah yang sehat, lahirlah generasi yang kuat.
Dari desa yang mandiri, tumbuhlah bangsa yang berdaulat. (*)