HATIPENA.COM adalah portal sastra dan media untuk pengembangan literasi. Silakan kirim karya Anda ke Redaksi melalui pesan whatsapp ke 0812 1712 6600 ------ HATIPENA.COM adalah portal sastra dan media untuk pengembangan literasi. Silakan kirim karya Anda ke Redaksi melalui pesan whatsapp ke 0812 1712 6600 ------ HATIPENA.COM adalah portal sastra dan media untuk pengembangan literasi. Silakan kirim karya Anda ke Redaksi melalui pesan whatsapp ke 0812 1712 6600 ------ HATIPENA.COM adalah portal sastra dan media untuk pengembangan literasi. Silakan kirim karya Anda ke Redaksi melalui pesan whatsapp ke 0812 1712 6600 ------ HATIPENA.COM adalah portal sastra dan media untuk pengembangan literasi. Silakan kirim karya Anda ke Redaksi melalui pesan whatsapp ke 0812 1712 6600

Kali Ini Kita Ngulik Orang Saleh, Ungku Saliah

October 22, 2025 14:15
IMG-20251022-WA0044

Rosadi Jamani
Ketua Satupena Kalbar

HATIPENA.COM – Saya mohon maaf selama ini lebih banyak ngulik sampah masyarakat. Koruptor paling sering. Jarang ngulik orang saleh. Kali ini saya coba hadirkan sosok orang saleh, namanya Ungku Saliah. Pasti kalian baru dengar namanya, tapi pernah lihat fotonya di rumah makan Padang. Mari kita kupas orang saleh ini sambil seruput kopi sedikit gula aren, wak.

Oh iya, lupa. Hari ini rupanya Hari Santri Nasional. Selamat merayakannya dengan meneladani orang saleh.

Kita mulai kisahnya. Pernahkah uda/uni masuk ke rumah makan Padang dan merasa diawasi? Bukan oleh kasir yang waspada dompetmu, bukan pula oleh aroma rendang yang menatap imanmu, tapi oleh sosok tua berbaju putih, berkopiah hitam, dan wajah teduh penuh misteri. Itulah Syech Kiramatullah Ungku Saliah, lelaki yang fotonya lebih sering kita temui dari pejabat daerah atau bahkan presiden sekalipun.

Fotonya tergantung di dinding, diapit kalender minyak goreng dan piagam kebersihan yang sudah menguning. Ia diam, tapi berwibawa. Tak bicara, tapi menenangkan. Entah kenapa, setiap kali nuan makan nasi Padang di bawah pandangannya, ada rasa, rendangmu jadi lebih sakral.

Padahal, kalau ditanya siapa beliau, banyak yang cuma menjawab, “Itu… yang di rumah makan Padang itu, lho!” Begitulah nasib tokoh spiritual di negeri yang lebih hafal wajah influencer ketimbang wajah orang saleh.

Ungku Saliah lahir di Sungai Sariak, Padang Pariaman, sekitar 1887. Nama kecilnya Dawat, sederhana, tapi setelah menuntut ilmu agama, masyarakat memanggilnya Saliah, berarti “saleh”. Ia bukan ulama viral, tak punya akun TikTok, tak pernah membuat podcast dakwah. Tapi karamah dan ketulusannya menular hingga ke dinding-dinding warung yang kini beraroma gulai kepala kakap.

Konon, beliau punya kemampuan “aneh tapi nyata” menyembuhkan orang sakit dengan daun, batu, bahkan pandangan. Namun barangkali karamah terbesarnya bukan itu. Karamah sejatinya adalah kejujuran, keteduhan, dan keteladanan yang membuat namanya abadi meski tubuhnya sudah lama ditanam.

Beliau wafat tahun 1974, tapi fotonya terus hidup. Uda bayangkan, sudah setengah abad, tapi wajahnya masih eksis di ribuan rumah makan dari Sabang sampai Merauke. Bahkan mungkin beliau adalah “selebritas paling banyak dipajang di Indonesia”.

Ada yang menggantung fotonya untuk tabarruk, mengharap berkah. Ada pula yang cuma ikut tren, kalau rumah makan Padang tanpa foto beliau, takut tak laku. Di sinilah letak satirenya, bangsa yang sering lupa hakikat, tapi rajin menjaga simbol. Kita pasang foto orang saleh, tapi kadang lupa meniru kesalehannya.

Namun, jangan buru-buru menertawakan para pemilik rumah makan itu. Sebab, mungkin mereka lebih jujur dari banyak orang berjas di gedung tinggi. Mereka menggantung foto Ungku Saliah bukan untuk menipu, tapi untuk mengingat. Usaha itu harus bersih, hati harus bening, rezeki datang dari Tuhan, bukan dari tipu muslihat pelanggan.

Bukankah itu bentuk pendidikan moral paling nyata? Lihatlah, setiap sendok sambal balado yang akang nikmati di bawah foto beliau, sebenarnya sedang menyampaikan pesan spiritual yang halus, kejujuran dan doa adalah bumbu utama dalam setiap nasi Padang.

Coba bandingkan dengan dunia modern sekarang. Banyak orang bergelar tinggi tapi tak saleh, banyak yang saleh di media tapi tak tinggi akhlaknya. Sementara Ungku Saliah, tanpa pamflet dan tanpa mikrofon, mendidik satu bangsa lewat selembar foto. Ia tidak menegur, tidak mengancam, tapi kehadirannya diam-diam menegur hati.

Kita ini bangsa yang haus figur, tapi sering salah minum. Kita mencari panutan di layar kaca, padahal teladan sejati tergantung di dinding warung, di antara asap gulai dan bau daun singkong rebus.

So, lain kali ente makan nasi Padang, tengoklah sejenak wajah teduh itu.
Bayangkan beliau berkata pelan, “Nak, jangan curang dalam timbangan, jangan sombong karena kenyang. Dunia ini sementara, tapi niat baik itu abadi.”

Selesai makan, jangan cuma bilang “maknyus”, tapi juga bisikkan dalam hati, “Terima kasih, Angku Saliah, karena engkau mengajarkan kami bahwa kesalehan tak perlu panggung, cukup dijalani, lalu dibiarkan harum seperti rendang di siang panas.”

Begitulah, wak! Di negeri yang sering ribut soal menteri jeblok, ternyata yang paling abadi adalah seorang ulama tua dari Sungai Sariak. Ia tidak berkuasa, tapi wajahnya menenangkan jutaan perantau lapar.
Di setiap suapan nasi Padang, mungkin sebenarnya kita sedang menelan sepotong warisan moral yang ditinggalkannya.

Di dinding warung tergantung gambar,
Wajah teduh penuh berkah.
Hidup saleh bukan sekadar wajar,
Tapi napas jujur di tiap langkah.

#camanewak

Foto AI hanya ilustrasi