Rosadi Jamani
Ketua Satupena Kalbar
HATIPENA.COM – Tiba-tiba perut lapar, mau masak indomie, sudah sangat mainstream. Keluarkan motor, cari kuliner di Jalan Danau Sentarum, Pontianak. Nasib membawa saya ke kios kecil pinggir jalan yang sederhana, tapi auranya mengguncang iman, Tahu Tek Telur. Orang Pontianak pasti baru dengar ni. Siapkan kopi sedikit susu kental manis, wak!
Warungnya belum genap enam bulan berdiri, tapi tiap malam selalu ramai. Dua pekerja sibuk di dapur, satu masak, satu merangkap kasir. Sementara sang bos, orang Jawa Timur asli, tersenyum puas melihat bumbu petisnya berhasil menaklukkan lidah orang Kalimantan Barat. Ini bukan cuma warung, ini pertemuan dua pulau lewat jalur bumbu.
Saya pesan untuk dibungkus, biar nanti bisa dimakan bersama istri. Begitu dibuka, aroma kacang tanah dan petis udang menyelinap ke hidung, menyerang dengan cara halus tapi fatal. Di atas piring, susunan bahan tampil seperti orkestra rasa Nusantara. Tahu putih goreng setengah matang, telur dadar lembut yang dipadu tahu, tauge rebus yang tetap renyah, dan potongan lontong yang siap menyerap semua bumbu.
Di sinilah letak magisnya, bumbu kacang petis. Campuran kacang tanah goreng yang ditumbuk halus, bawang putih yang menjerit gurih, cabai rawit yang membawa sedikit kekacauan, gula merah dan garam yang berdamai dalam satu cobek, lalu ditambah petis udang, hitam, kental, manis asin, dan khas Jawa Timur. Semua ini kemudian disiramkan ke atas lontong dan tahu, lalu ditaburi bawang goreng, seledri, dan kerupuk udang.
Hasilnya? Gurihnya menohok, manisnya bikin kangen, pedasnya menggoda iman. Setiap suapan seperti debat sengit antara tahu dan telur yang diselesaikan dengan mediasi kacang petis. Kau tak bisa berhenti sebelum piringmu bersih seperti hati orang yang baru gajian.
Nama “tahu tek” lahir dari suara gunting yang “tek tek tek” saat penjual memotong tahu dan lontong di atas piring. Bunyi itu bukan sekadar efek suara, tapi mantra khas pedagang kaki lima Jawa Timur. Malam itu, di tengah bisingnya lalu lintas Pontianak, bunyi “tek tek tek” itu terdengar seperti lagu pengantar lapar, ritmis, menggoda, dan membuat siapapun menoleh.
Yang menarik, tahu tek ini, bukan makanan impor, bukan juga kuliner yang sok globalisasi. Ia adalah representasi jujur rasa Nusantara. Bahan-bahannya sederhana, tahu, telur, tauge, petis, kacang tanah, kecap, garam, dan kerupuk, tapi ketika disatukan, hasilnya seperti pesta rasa tanpa sponsor luar negeri. Semua berasal dari tanah sendiri, dari laut sendiri, dari dapur sendiri.
Lidah Pontianak ternyata cocok betul dengan gaya Surabaya yang lugas dan pedas. Dalam lima bulan, tahu tek ini jadi magnet baru kuliner malam. Tak ada yang pulang kecewa. Bahkan beberapa pelanggan mengaku, “Awalnya cuma mau coba, tapi sekarang tiap malam malah craving!”itu pengakuan yang lebih jujur dari janji politik.
Filosofi tahu tek sesederhana rasanya, kehidupan tak perlu mewah untuk bahagia. Kadang cukup tahu, telur, dan sedikit petis udang untuk mengingatkan kita bahwa kenikmatan itu tidak harus viral, cukup nyata di lidah.
Sumpah, tahu tek sukses mendamaikan penghuni perut. Istri saya juga terbuai olehnya. “Nanti, beli lagi, Pa.” pintanya.
Kalau nuan merasa hidupmu hambar, jangan cari motivator. Cukup cari pedagang tahu tek di pinggir jalan. Karena di sanalah pian akan menemukan makna sejati Nusantara, gurih, pedas, sederhana, tapi bikin nagih sampai lupa masalah negara. (*)
#camanewak