Catatan Kaki; Rizal Pandiya
Penggiat Literasi/ Sekretaris Satupena Lampung
HATIPENA.COM – Tak disangka, di tengah hiruk-pikuk politik dan dunia digital yang semakin absurd, kabar menggembirakan justru datang dari alam barzakh – eh… maksudnya dari zaman “saka”. Dua naskah kuno asal Lampung resmi meraih Sertifikat IKON (Ingatan Kolektif Nasional) 2025 dari Perpustakaan Nasional RI. Naskah yang diperkirakan sudah ratusan tahun tidur dengan tenang itu tiba-tiba bangkit lagi. Bukan ingin nuntut warisan, melainkan untuk menjelaskan bahwa literasi Lampung ternyata tidak kalah berakar dari tanaman kopi robusta-nya.
Kalau ini diumpamakan sebuah film, mungkin judulnya yang menarik adalah: “Kebangkitan Naskah Kuno Lampung, Menuju Pentas Nasional.” Setelah sekian lama menunggu, kini naskah kuno itu jadi superstar dalam Simposium Internasional Pernaskahan Nusantara XX. Sungguh luar biasa, dari sudut ruang perpustakaan menuju pusat perhatian nasional – padahal mereka tak memiliki akun Tiktok, tak bisa membuat konten, apalagi duet challenge di snack video.
Penghargaan ini dianugerahkan karena naskah-naskah itu memiliki nilai budaya nan agung dan nilai sejarah yang tinggi. Jika saja naskah-naskah itu bisa ngomong, mereka akan mengatakan, “Setelah begitu lama dianggap sekadar tumpukan kulit kayu yang tak berguna, tapi akhirnya dihargai juga.” Memang benar, naskah-naskah kuno di negeri ini nasibnya mirip pembantu rumah tangga: diingat saat diperlukan, dilupakan ketika pesta selesai.
Tentu saja keberhasilan ini tidak lepas dari tangan dingin Kepala Dinas Perpustakaan dan Kearsipan Provinsi Lampung Fitrianita Damhuri. Bukan karena AC-nya yang kencang, melainkan karena serius melestarikan warisan budaya literasi daerah.
Kepala Perpusnas Endang Aminudin Aziz, menyatakan, bahwa pengarusutamaan naskah tidak hanya memenuhi syarat formalitas. Dan ini memang benar. Jangan sampai naskah-naskah kuno itu hanya jadi wallpaper di layar handphone, sementara kandungan nilainya tidak pernah dipelajari. Jika ini dibiarkan, maka bisa saja nasib manuskrip Lampung itu sama dengan piagam Pak Lurah – dipajang doang, tapi tak pernah dibaca.
Bagi para gen-z, mungkin agak mengherankan, karena naskah kuno yang mendapat penghargaan itu, ditulis di atas kulit kayu, bukan kulit sisa sunatan. Bayangkan bagaimana telitinya para leluhur kita dulu. Kita saja, kalau menulis pesan singkat di whatsapp kadang typo, padahal sudah pakai autocorrect. Tetapi nenek moyang kita, menulisnya di kulit kayu, tanpa Tip-X, tanpa karet penghapus, tanpa “undo”, dan tentu saja tanpa tantiem. Ini murni karena mencintai ilmu.
Itulah sebabnya, naskah-naskah “tuha” nan antik ini bukan sekadar berisi teks, melainkan juga energi zaman. Goresan aksara itu lahir dari tangan yang sabar dan pikiran yang jernih dan dalam penuh ilmu. Tapi kini, aksara yang digunakan leluhur kita – aksara Lampung – makin terpinggirkan dan makin langka.
Di civitas sekolah pun, mata pelajaran aksara Lampung kadang sering sekadar jadi foto dokumen atau seremonial saja. Diterakan di papan tulis ketika lomba seni budaya, lalu kemudian dihapus setelah bel istirahat berbunyi. Maka tak heran jika kini naskah kuno Lampung menjadi semacam artefak alien bagi para gen-z. Kalau pun diperlihatkan, mereka akan bertanya, “Lha, ini font apa, Pak? Kok nggak bisa diunduh di Google Fonts?”
Banyak yang tak menyadari bahwa aksara Lampung itu keren. Punya makna filosofis, bentuknya pun sangat artistik. Dan kalau dikasih bingkai, bisa mengalahkan lukisan kaligrafi Arab di galeri. Tapi sayangnya, yang bisa dan mahir menulis aksara Lampung hari ini, bisa dihitung jari. Mungkin karena tak ada emoji-nya, atau mungkin juga karena tak bisa digunakan buat caption di media sosial.
Karena itu, jika sekarang naskah kuno Lampung itu diakui secara nasional, maka sejatinya itu bukan sekadar penghargaan simbolis, melainkan alarm keras agar jangan sampai masyarakat Lampung kehilangan kemampuan membaca dan menulis aksara warisan leluhurnya. Jangan hanya sibuk menghafal lirik lagu Tabola Bale, tapi lupa bagaimana cara membaca karya leluhur sendiri, seperti menulis doa di pohon lontar.
Acara Simposium Internasional ini banyak dihadiri peneliti, pakar, saintis, dan tentu saja pemerhati naskah dari mancanegara. Bisa jadi mereka terheran-heran, kenapa naskah kuno malah sangat langka daripada naskah disertasi original di Indonesia. Tapi justru dari negeri Sai Bumi Ruwa Jurai ini muncul harapan baru. Karena sesungguhnya, di balik naskah kuno itu, tersimpan semangat, bahwasannya budaya leluhur tidak boleh punah cuma karena manusianya merasa modern sehingga malas membaca.
Kepala Dinas Perpustakaan dan Kearsipan Provinsi Lampung Fitrianita Damhuri, menyampaikan rasa syukur dan apresiasi atas penghargaan tersebut. “Pengakuan ini bukan hanya kebanggaan bagi Lampung, tetapi juga menjadi motivasi untuk terus melestarikan dan memperkenalkan khazanah naskah kuno daerah kepada masyarakat luas,” ujarnya.
Dan benar juga, di era mana orang sedang sibuk melestarikan filter selfie, tapi masih ada juga yang sibuk melestarikan tulisan leluhurnya. Ini patut diacungi jempol, tapi bukan jempol yang sibuk mengetik hoaks, melainkan jempol yang literat.
Kita semua tentu berharap setelah ini, naskah-naskah kuno Lampung makin dikenal luas. Bukan hanya di kalangan kampus, civitas sekolah, melainkan juga masyarakat luas. Bayangkan saja kalau suatu ketika tiba-tiba muncul film dokumenter yang berjudul “Manuskrip Kulit Lontar: The Real Ancient Script,” dan film itu laris di Netflix. Maka bisa-bisa para gen-z akan bangga menulis menggunakan aksara Lampung, bukan sekadar menulis “healing” di caption Instagram.
Kini tugas besar pun menanti untuk melestarikan naskah kuno, tapi bukan sekadar memelihara dan menjaga secara fisiknya, melainkan juga menghidupkan kembali semangatnya. Karena itu, jangan sampai naskah-naskah tua itu cuma dibangga-banggakan, tapi tidak dipelajari.
Maka dari itu, mari belajar dari para leluhur kita yang menulis dengan teliti dan sabar di kulit-kulit kayu. Di tangan-tangan mereka itu, ilmu menjadi abadi. Kalau saja dua naskah kuno dari tanah Lampung bisa bangkit hingga mendapat penghargaan dan bikin geger nasional, masa kita yang tinggal menggali makna tulisan itu saja tidak bisa? Salam literasi. (*)
Bandar Lampung, 19 Oktober 2025
#MakDacokPedom