HATIPENA.COM adalah portal sastra dan media untuk pengembangan literasi. Silakan kirim karya Anda ke Redaksi melalui pesan whatsapp ke 0812 1712 6600 ------ HATIPENA.COM adalah portal sastra dan media untuk pengembangan literasi. Silakan kirim karya Anda ke Redaksi melalui pesan whatsapp ke 0812 1712 6600 ------ HATIPENA.COM adalah portal sastra dan media untuk pengembangan literasi. Silakan kirim karya Anda ke Redaksi melalui pesan whatsapp ke 0812 1712 6600 ------ HATIPENA.COM adalah portal sastra dan media untuk pengembangan literasi. Silakan kirim karya Anda ke Redaksi melalui pesan whatsapp ke 0812 1712 6600 ------ HATIPENA.COM adalah portal sastra dan media untuk pengembangan literasi. Silakan kirim karya Anda ke Redaksi melalui pesan whatsapp ke 0812 1712 6600

Kajian Faktual Puisi “Paradoks Negeri Pelangi” Karya Rastono Sumardi

October 13, 2025 05:38
IMG-20251013-WA0000

Oleh : Arif Nasri
Satupena Sulawesi Tengah

HATIPENA.COM – Puisi merupakan salah satu bentuk karya sastra yang tidak hanya menyampaikan keindahan bahasa, tetapi juga menjadi medium kritik sosial terhadap fenomena kehidupan masyarakat. Dalam konteks Indonesia, banyak penyair menggunakan puisi untuk menggambarkan kondisi bangsa yang sarat dengan ironi dan paradoks. Salah satu karya yang merefleksikan hal tersebut adalah puisi “Paradoks Negeri Pelangi” karya Rastono Sumardi.

Puisi ini menyoroti kenyataan sosial, politik, dan ekonomi bangsa Indonesia yang sering kali bertolak belakang dengan citra yang dibangun oleh pemerintah dan media. Istilah “Negeri Pelangi” menjadi simbol metaforis bagi Indonesia—sebuah negeri yang kaya akan keindahan dan keragaman, namun menyimpan berbagai luka dan ketimpangan sosial. Melalui diksi yang lugas namun menyentuh, penyair berhasil menggambarkan potret realitas sosial yang kontradiktif di negeri ini.

1. Paradoks Kekayaan Alam dan Kemiskinan Rakyat

Pada penggalan awal puisi, penulis menulis, “Di negeri yang katanya kaya raya, rakyatnya justru lapar di meja sendiri.” Kalimat ini mengandung kritik tajam terhadap kondisi ekonomi Indonesia. Secara faktual, Indonesia dikenal sebagai negara dengan sumber daya alam yang melimpah, mulai dari hasil bumi, laut, hingga tambang.

Namun, realitas menunjukkan masih banyak masyarakat yang hidup di bawah garis kemiskinan. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), jutaan rakyat masih berjuang memenuhi kebutuhan pokok harian. Ironi inilah yang menjadi paradoks pertama dalam puisi: negeri yang kaya sumber daya, tetapi miskin kesejahteraan.

2. Demokrasi yang Hanya Dekorasi

Selanjutnya, penulis menulis, “Katanya demokrasi, tapi suara rakyat hanya jadi dekorasi.” Penggalan ini menggambarkan paradoks politik. Secara formal, Indonesia adalah negara demokrasi, tetapi praktiknya sering kali hanya sebatas seremonial.

Pemilihan umum yang seharusnya menjadi sarana menyalurkan aspirasi rakyat justru kerap diwarnai oleh politik uang, korupsi, dan manipulasi kekuasaan. Demokrasi menjadi “dekorasi”, artinya hanya indah di permukaan namun kehilangan makna sejatinya. Hal ini menegaskan bahwa idealisme demokrasi belum sepenuhnya dirasakan oleh rakyat kecil.

3. Ketimpangan Pembangunan

Dalam bait berikutnya, penyair menulis, “Ketika di televisi terpampang pembangunan jalan tol, di pelosok desa anak-anak masih menyeberangi sungai dengan bambu rapuh.”

Bait ini menyinggung ketimpangan pembangunan antara wilayah perkotaan dan pedesaan. Fakta menunjukkan bahwa sebagian besar pembangunan infrastruktur masih terpusat di kota besar, sementara daerah 3T (terdepan, terluar, tertinggal) belum menikmati fasilitas dasar seperti jalan, jembatan, dan sekolah yang layak. Kritik ini mencerminkan paradoks antara kemajuan yang ditampilkan media dan kenyataan pahit di pelosok negeri.

4. Krisis Keadilan Ekonomi dan Eksploitasi Laut

Dalam penggalan lain disebutkan, “Katanya laut luas, tapi nelayan pulang hanya dengan jala kosong, karena ikan dijarah kapal asing yang disambut senyum diplomasi.”

Bait ini menunjukkan ironi dalam sektor maritim. Indonesia dikenal sebagai negara kepulauan dengan wilayah laut yang luas, tetapi nelayan kecil sering hidup dalam kesulitan. Pencurian ikan oleh kapal asing menjadi masalah berulang yang merugikan nelayan lokal.

Penulis dengan cerdas mengkritik lemahnya penegakan hukum dan diplomasi yang justru berpihak pada pihak luar. Paradoks ini memperlihatkan betapa jauh kesenjangan antara potensi dan realisasi kesejahteraan rakyat.

5. Pencitraan dan Ketimpangan Sosial

Penyair juga menulis, “Negeri ini disebut surga dunia, namun rakyatnya sering tersingkir ke neraka kemiskinan.” Kutipan ini mengandung sindiran terhadap citra pariwisata dan promosi nasional yang menggambarkan Indonesia sebagai negeri yang indah dan harmonis.

Namun di balik slogan “Wonderful Indonesia”, masih banyak rakyat hidup dalam kemiskinan, pengangguran, dan keterbatasan akses pendidikan. Paradoks antara pencitraan dan kenyataan menjadi tema utama dalam bait ini.

6. Kesenjangan Digital dan Keterisolasian Daerah

Penyair menulis lebih lanjut, “Engkau bicara tentang kemajuan digital, tapi sinyal di pelosok masih bagai doa yang tak pernah sampai.” Baris ini menggambarkan kesenjangan digital yang masih terjadi di Indonesia.

Meski pemerintah menggalakkan transformasi digital dan ekonomi berbasis teknologi, banyak daerah pedalaman yang belum menikmati akses internet dan telekomunikasi. Paradoks ini memperlihatkan ketimpangan modernisasi yang belum menyentuh semua lapisan masyarakat.

7. Bara Harapan di Tengah Luka

Puisi ini tidak hanya berisi kritik, tetapi juga menyelipkan semangat optimisme, seperti pada penggalan, “Namun, di balik semua luka dan ironi, ada bara kecil yang terus menyala.”

Penyair menegaskan bahwa meskipun bangsa ini diliputi paradoks dan ketimpangan, masih ada harapan yang lahir dari rakyat kecil: guru yang mengajar di sekolah reyot, petani yang tak lelah menanam, dan mahasiswa yang berani bersuara.

Mereka adalah simbol kekuatan moral bangsa yang terus berjuang demi perubahan. Optimisme ini menjadi sisi humanis dan patriotik dari puisi “Paradoks Negeri Pelangi.”

Kesimpulan

Puisi “Paradoks Negeri Pelangi” karya Rastono Sumardi merupakan refleksi kritis terhadap realitas sosial, politik, dan ekonomi di Indonesia. Melalui gaya bahasa yang lugas namun penuh makna, penyair menyingkap paradoks antara kekayaan dan kemiskinan, kemerdekaan dan keterikatan, kemajuan dan keterbelakangan.

Kajian faktual terhadap penggalan-penggalan puisi menunjukkan bahwa karya ini berakar kuat pada kenyataan sosial yang benar-benar terjadi di negeri ini. Namun, di balik kritik dan ironi yang tajam, penyair tetap menyalakan bara harapan akan perubahan. Ia menegaskan bahwa cinta terhadap tanah air tidak selalu berarti memuji, tetapi juga berani mengkritik demi perbaikan.

Dengan demikian, “Paradoks Negeri Pelangi” bukan sekadar karya sastra, melainkan juga cermin nurani bangsa—yang mengingatkan kita bahwa cinta sejati kepada negeri adalah terus berjuang untuk menyembuhkan lukanya. (*)

Luwuk, 12 Oktober 2025