Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600 ------ Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600 ------ Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600 ------ Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600 ------ Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600

Orkestra Sunyi di Atas Negeri Besi

January 22, 2025 19:37
IMG-20250122-WA0104

Oleh: Rizal Tanjung

di negeri besi yang berkarat janji,
hidup seorang seniman dengan biola tanpa senar,
ia bukan lagi penggubah melodi,
melainkan pengukir bisu di dinding penguasa liar.

biolanya, kayu tua penuh retak,
ibarat harapan yang dijadikan pajangan,
sebuah karya yang tak pernah dipetik,
hanya dilihat sekilas, lalu terlupakan.

penguasa, si dalang panggung besar,
memasang wajah senyum palsu di koridor angkuh,
katanya, “seni adalah denyut nadi bangsa,”
tapi tangannya mengikat seniman dalam jeruji emas.

“oh, seniman, buatkan aku mahakarya!”
teriaknya dengan suara bergaung palsu.
“tapi jangan kau makan upahmu,
cukup kenyangkan dirimu dengan tepuk tangan semu.”

maka seniman pun bekerja,
memahat cahaya dari gelap,
memetik harmoni dari kehampaan,
menciptakan dunia dari tiada.

namun apa balasannya?
biolanya dirampas untuk dipuja.
karya-karyanya dicuri untuk propaganda,
seniman tak lebih dari boneka kerajaan kertas.

mereka berkata, “lihatlah ia,
patung hidup, lambang kejayaan budaya.”
padahal ia hanyalah artefak sengsara,
yang dipoles agar tak tampak duka.

ia duduk di tepi dunia,
di antara langit yang memucat,
dan gedung-gedung yang melahap bumi.
bahkan awan pun tak sudi menatapnya.

biola tanpa senar di tangannya,
adalah metafora sempurna,
tentang hidup yang direnggut dari suaranya,
tentang melodi yang dipangkas oleh penguasa.

oh, negeri besi,
yang memahat tembok tinggi dari pujian kosong,
di manakah tempat bagi seniman?
selain di puncak sunyi, menunggu ajal datang.

karyanya kau jadikan monumen,
tapi dirinya kau jadikan bahan bakar,
untuk menghidupkan mesin propaganda,
sampai ia habis terbakar seperti lilin yang mati.

wajahnya kini adalah prasasti,
tentang bagaimana seni mati dalam tangan besi.
tangannya menggenggam biola rapuh,
seperti menggenggam sisa-sisa mimpi yang lusuh.

“karya ini milik bangsa,” katamu,
tapi senimannya kau biarkan kelaparan,
kau biarkan terhempas angin dingin,
di sudut kota yang tak peduli pada seni.

oh, penguasa dengan lidah berlian,
yang memintal janji seperti benang laba-laba,
di mana tanganmu saat seniman terjatuh?
di mana nuranimu saat ia terhisap waktu?

dan kini ia menjadi patung,
bukan karena keinginan,
tapi karena sistem telah membekukannya,
dalam posisi abadi: penderitaan.

biarkan ia menjadi ironi,
di negeri yang menyembah seni,
tapi mencabut nyawa senimannya,
satu per satu, dalam senyap yang hampa.

oh, lihatlah ia di atas sana,
seniman yang mengorbankan segalanya,
duduk mematung, tak lagi bernyanyi,
di tangan penguasa, ia mati berdiri.

Padang, 1 Januari 2025.