Ikuti Sayembara Menulis Novel Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) 2025. Ketentuan dan Syarat #sayembaranoveldkj2025 ------ Ikuti Sayembara Menulis Novel Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) 2025. Ketentuan dan Syarat #sayembaranoveldkj2025 ------ Ikuti Sayembara Menulis Novel Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) 2025. Ketentuan dan Syarat #sayembaranoveldkj2025 ------ Ikuti Sayembara Menulis Novel Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) 2025. Ketentuan dan Syarat #sayembaranoveldkj2025 ------ Ikuti Sayembara Menulis Novel Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) 2025. Ketentuan dan Syarat #sayembaranoveldkj2025

Pemakzulan Gibran: Anak Didepak, Bapak Bertindak

June 9, 2025 16:30
IMG-20250609-WA0004

Catatan Satire; Rizal Pandiya
Sekretaris Satupena Lampung


HATIPENA-COM – Di balik senyum diplomatis dan jabat tangan di depan kamera, kini mulai tersimpan ketegangan sunyi antara dua penguasa, Jokowi dan Prabowo. Kesan ini muncul sekaligus sebagai respons “surat cinta” para jenderal purnawirawan TNI yang meminta DPR RI agar memakzulkan wakil presiden Gibran Rakabuming Raka.

Dilansir dari wawancara Kompastv dengan mantan presiden Joko Widodo, menyebutkan, “Kalau wakil presiden dimakzulkan, presidennya juga harus ikut.” Kira-kira begitulah inti wawancara tersebut, menanggapi isu pemakzulan Gibran, yang tak lain adalah anaknya sendiri.

Kalimat ini seperti sebuah ucapan yang terdengar sebagai petuah kebapakan, tapi sebenarnya lebih mirip ancaman dingin dari lawan yang tak ingin anaknya tenggelam sendirian. Katanya begini, “Ini negara besar, negara hukum, jadi harus ikut ketatanegaraan.”

Wah, menarik ini. Kata-kata yang sangat… teknokratis. Tapi setelah ditelaah, kok nadanya seperti ancaman bapak kos yang bilang, “Kalau kamu keluar, ya sekamar juga harus keluar dong. Kan nyewanya bareng!”

Maksudnya? Ya itu tadi. Kalau wakil presidennya dimakzulkan, maka presidennya juga harus ikut. Karena mereka terpilih satu paket. Seperti sate Padang sama kuahnya, mi instan dengan bumbunya. Seperti Prabowo dan…maaf, Gibran.

Logika ini menggemaskan sekali. Seolah-olah hukum tata negara kita ini seperti menu pecel lele: nggak bisa pesen ayam goreng doang, harus sama tahu dan tempe juga! Padahal, kalau di dalam paket itu ternyata ayamnya basi, ya kenapa nggak diganti? Apakah harus dibuang berikut sambel kacangnya juga?

Dan jangan lupa, dasar paket ini sendiri bukan dari rakyat, tapi dari dapur belakang kantor hukum. Gibran bisa nyalon karena ada “praktik sulap” di Mahkamah Konstitusi, ketika pamannya – yang menjabat sebagai ketua MK – mengakali konstitusi dengan pasal istimewa. Usia boleh kurang, asal pernah jadi ketua Karang Taruna, atau minimal ketua OSIS di sekolah.

Jadi sebenarnya, siapa yang cacat hukum dalam paket ini? Prabowo? Nggak juga. Beliau sudah cukup umur, cukup beban sejarah, dan cukup sering menelan kekalahan. Yang diributin kan si bocah cilik yang lulus dari gerbang istana via jalur nepotrack.

Dan kini, para jenderal veteran perang – dipimpin Try Sutrisno, yang katanya sudah pensiun tapi tetap menyala seperti kulkas empat pintu – menggagas pemakzulan. Mungkin ini semacam “parenting politik,” supaya anak-anak yang terlalu manja diistana-istanakan itu tahu diri.

Jadi pertanyaannya, apakah ini sinyal Jokowi akan melawan? Akan mengerahkan seluruh sumber daya, buzzer, birokrat, BUMN, sampai komunitas pecinta alam Silvagama dari UGM, agar anaknya tetap duduk manis di kursi wapres?

Atau… ini cuma bluffing halus ke Prabowo, “Awas ya, kalau anakku dicoret, kamu juga kutarik!” Karena bagaimanapun juga, ini bukan paket sembako. Ini politik. Dan dalam politik, tak ada yang gratis. Bahkan kasih sayang bapak pada anak pun bisa dijadikan alat tawar-menawar konstitusional.

Lalu, apa peluru ampuh Jokowi? Memang paket ini cacat sejak awal. Dan Prabowo adalah penikmat manfaat dari cacat itu. Kenapa begitu? Karena dengan posisi Gibran sebagai wapres, rakyat akan berpikir untuk mengganggu Prabowo. Jika dia dilengeserkan, maka Gibran yang akan menggantikan. Ngeri-ngeri sedap, kan!

Tetapi jika posisi Gibran yang dipersoalkan, maka pendukungnya akan menyeret Prabowo supaya turun berdua. Ibarat mobil bodong, yang nyetir dan yang duduk di samping sama-sama masuk got. Dan bisa-bisa mobilnya disita, disimpan sebagai barang bukti, dijadikan pameran.

Kita semua tahu, politik di negeri ini kadang lebih menyerupai pertandingan catur malam Jumat. Penuh trik, gerak diam-diam, dan kadang ada ritual bakar dupa di belakang layar. Tapi pertandingan kali ini bukan antara hitam dan putih. Dua sosok yang dulu kelihatan seperti rival sengit, kini malah kayak pasangan yang saling menyandera.

Mereka ini bukan duet yang saling melengkapi, tapi duet yang saling mengunci. Seperti dua orang yang main remi, sama-sama megang kartu joker, tapi nggak mau keluarin duluan.

Sekarang, kabar pemakzulan Gibran jadi angin ribut yang bikin daun-daun istana mulai gugur. Meski nampak tenang namun sejatinya sedang terjadi ketegangan. Bukan ketegangan ideologis, tapi soal sandera politik, yang sepertinya akan mengarah pada siapa menyimpan dosa siapa, siapa memegang kartu siapa.

Lalu, apa yang akan digunakan Jokowi untuk menyeret Prabowo ikut nyebur? Sekarang kita masuk ke zona “Kartu Truf.” Sebuah wilayah gelap penuh dosa politik masing-masing, yang tersimpan rapi dalam brankas berkode 62.

Menurut perewangan, Jokowi memiliki banyak kartu untuk menekan Prabowo. Diantaranya, proyek food estate “singkong rasa jagung” yang dikelola Kemenhan, ketika Prabowo duduk sebagai menterinya. Food estate seharusnya jadi lumbung pangan masa depan. Namun yang terjadi? Lumbung tersebut jadi kuburan tak berhantu. Hutan dibabat, anggaran digelontorkan, kayunya entah kemana. Hasilnya? Tikus pun malas lewat.

Dan senjata Jokowi yang lebih dahsyat lagi adalah rekayasa hasil rekapitulasi data Pilpres 2024 yang menyebutkan kemenangan Prabowo-Gibran 58 persen. Ini bisa jadi senjata mematikan kalau dibuka ke publik. Karena semua tahu, kecurangan yang dilakukan pada Pilpres 2024, merupakan copy paste dari Pilpres 2019.

Dan kalau sudah saling buka-bukaan, bisa saja isu lama soal penculikan aktivis dan catatan HAM Prabowo kembali digoreng hangat-hangat di wajan opini publik. Jokowi tinggal diam saja, biar netizen yang bekerja.

Lalu apa kartu Prabowo untuk menekan Jokowi? Omnibus Law dan rakyat yang ngomel. Undang-undang yang membuat buruh ngamuk dan aktivis demo sambil tiduran di aspal. Prabowo bisa bilang, “Ini bukan kerjaan saya lho.” Ini memang maunya presiden agar Proyek Strategis Nasional (PSN) dapat berjalan tanpa hambatan.

Ada lagi senjata Prabowo, yaitu perubahan syarat usia calon wapres di MK yang bikin geger. Inilah tiket utama Gibran masuk gelanggang. Dan publik tahu, yang dorong tiket itu bukan Prabowo. Kalau dibuka, bisa terlihat siapa aktor sesungguhnya yang mengajari konstitusi agar bisa ditawar-tawar.

Kalau keduanya saling bongkar? Wah, ini sudah kayak dua pemain poker buka semua kartu di meja. Penonton pasti terkesima, tapi negara bisa mabuk berjamaah. Bisa-bisa, sakit alergi kulit Jokowi gak jadi sembuh karena dinilai jadi dalang besar skandal konstitusi.

Prabowo ikut tergelincir karena dinilai ikut menikmati dosa politik. Gibran? Bisa-bisa dia dikirim magang ke BUMDes sambil bawa proposal.

Dan skenario ini nggak imajinatif lagi. Ini realistis. Karena dalam politik Indonesia, semua yang tampak absurd, biasanya malah benar-benar terjadi. Maka tak heran jika hari-hari ke depan akan penuh drama di belakang panggung. Dengan begitu, Jokowi bisa main bisik ke elit, “Lindungi anak saya, atau saya akan buka file kamu satu-satu!”

Sementara Prabowo bisa balas dari ruang makan istana, “Kalau kamu buka file saya, saya juga bisa buka semua ijazah jaman kamu mulai jadi walikota.”

Dua-duanya tahu terlalu banyak. Dan publik? Lagi-lagi cuma bisa jadi penonton dan pasrah kalau harga BBM tiba-tiba naik lagi. Oleh karena itu, kalau ini negara hukum, maka biarkan hukum bicara. Tapi kalau hukum sudah disandera oleh dua orang yang saling sandera, maka yang tersandera adalah kita semua. Jadi kita harus gimana? Kita tunggu aja hasil lobi-lobi politik para pimpinan Dewan. (*)

Bandarlampung, 9 Juni 2025

#MakDacokPedom